Selasa, 31 Januari 2012

Perancang Lambang Garuda Yang Terlupakan


Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Baca Selengkapnya...




Wajah Sidin pada pas foto di surat kesehatannya terlihat gagah. Pemuda asal Pekalongan itu menggunakan ikat kepala kain khas pemuda daerah pesisir Jawa, tidak berbaju dan bercelana putih.
Dalam foto tahun 1908 yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk pelengkap surat kesehatan sebagai syarat mengiriman Sidin ke Suriname itu dia berpose duduk santai dengan tangan di atas paha.
Bagi cucu Sidin, foto itu mempunyai> arti penting dan bersejarah.
Maurit S Hassankhan/Sandew Hira memuat foto Sidin itu dalam buku Historische Database Van Suriname, Gegevens Over de Javaanse Immigranten (Data Sejarah Suriname, Data Imigrasi Orang Jawa) yaitu buku yang berisi data para imigran Jawa ke Suriname.

Buku yang terbit atas gagasan Amrit Consultancy dan Institut Riset Ilmu Sosial Universitas Suriname itu secara menakjubkan berhasil memuat lengkap data menyangkut 32.965 orang Jawa yang 114 tahun lalu menjadi pekerja dan bermigrasi ke Suriname.
Dalam rencana semula buku itu sebenarnya untuk memuat data imigran Hindustani ke Suriname, namun saat proyek berjalan muncul ide untuk memasukkan pula data jati diri orang-orang Jawa yang dikirim pemerintah Kolonial Belanda ke daerah jajahannya, Suriname, sejak 9 Agustus 1890 hingga 13 Desember 1939.
Pada periode itu terdapat 32.965 orang Jawa yang di kirim ke Suriname, suatu negara koloni kecil di Amerika Selatan.
Para pekerja asal Jawa itu pada 1890-1914 di berangkatkan dari Jawa dalam kelompok-kelompok kecil dari daerah pemberangkatan mereka dari Jakarta (Batavia) dan Semarang.
Di suriname mereka dipekerjakan di ladang dan pabrik perkebunan tebu, kopi, cokelat dan lainnya. Hanya pada angkatan ke 77 pada tahun 1904 mereka dipekerjakan dalam pembuatan jalan kereta api.
Selama perang Perang Dunia I para imigran Jawa itu juga ada yang dipekerjakan di tambang bauksit di Moengo, Suriname.
Dalam data yang tercantum pada buku itu dimuat nama imigran, nama orang tua, jenis kelamin, usia saat diberangkatkan, hubungan keluarga dengan pekerja lainnya, tinggi badan, agama (semua disebutkan Islam), tempat tinggal terakhir, tempat keberangkatan, tanggal tiba di Suriname, lembaga perekrut, perusahaan yang mempekerjakan, daerah tempat bekerja di Suriname, nomer kontrak dan keterangan perubahan jika ada.
Mereka dikontrak untuk bekerja selama lima tahun, tetapi kenyataannya sebagian besar dari mereka terpaksa bekerja seumur hidupnya.
Dalam buku itu disebutkan hingga pada tahun 1954 sekitar 8.684 (26 persen)imigran tersebut sudah dikembalikan ke kampung halaman masing-masing.
Mereka yang ingin tinggal menjadikan Suriname sebagai kampung halaman, tetapi disebutkan pula ada sebagian orang yang memilih menjadi warga negara Belanda ketika Suriname menjelang merdeka (1965) karena ingin mendapatkan tunjangan sosial.
Kisah Suwarto Mustaja, tokoh masyarakat Jawa Suriname, bisa menjadi contoh.
Suwarto salah seorang keturunan para imigran Jawa pada saat muda gigih berjuang bersama orang tua dan masyarakat Jawa lainnya untuk mendapatkan hak mereka agar bisa dikembalikan ke Indonesia, tetapi ketika pemerintah Belanda mengijinkan mereka pulang, ibunya justru menangis dan memilih untuk tetap tinggal di Suriname.
“Di sini kamu (Suwarto) lahir dan di sini aku akan tinggal,” kata Ibu Suwarto dengan linangan air mata.
Dengan berat hati Suwarto muda akhirnya memilih untuk tetap tinggal di Suriname, meskipun bapaknya mendesaknya agar kembali ke Indonesia.
Meski pahit hidup di perkebunan di Suriname, terpaksa mereka terima apa adanya.
Kini keturunan mereka tidak lagi bekerja di perkebunan milik perusahaan Belanda seperti orang tuanya karena perusahaan perkebunan Belanda sudah tutup atau bangkrut.
Sebagian kecil dari mereka yang mendapatkan ‘kebebasan’ itu beralih profesi menjadi pedagang dan ternyata meraih sukses, bahkan ada yang mampu mendapat pemasukan bersih US$20.000 per bulan seperti yang dialami Wilem Sugiono.
Tetapi, ada banyak pula bekas imigran dan keturunannya yang masih tetap berladang di tanah seluas 1,25 hektar dengan beragam tanaman.
Jenifer, ibu seorang anak relatif beruntung dibandingkan keturunan imigran Jawa lainnya.
Perempuan yang bersuamikan pria bernama Azis itu mengelola kafe kecil di samping hotel meiliknya.
“Saya hanya bisa sedikit berbahasa Jawa,” katanya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Di samping bahasa Inggris, dia juga fasih berbahasa Belanda, sebagaimana sebagian besar orang keturunan Jawa lainnya.
Dengan memiliki hotel berbintang dua, cafe dan kompleks perbelanjaan dia terlihat hidup nyaman di Paramaribo, ibukota Suriname.
Paramaribo adalah kota kecil, dibandingkan kota di Indonesia, tetapi kota itu terlihat eksotik dengan gedung-gedung peninggalan Belanda yang memenuhi kota.
Tonggak hubungan
Kedubes RI di kota itu sejak 1980 hingga sekarang berusaha menjaga hubungan baik dengan Suriname, terutama dengan warga Jawa dan keturunannya yang kini berjumlah 74.760 (17,8%) dari 481.146 penduduk Suriname.
Tonggak hubungan baik itu terlihat pada pendirian Gedung Sono Budoyo pada 1990 yang mendapat bantuan dari Soeharto, Persiden RI pada masa itu.
Gedung disertai sebuah tugu yang dibangun pada tahun 1990 itu sekaligus untuk memperingati 100 tahun kedatangan orang Jawa di Suriname.
Pada tahun 2005, di suriname akan diadakan peringatan tahun ke-115 kedatangan orang Jawa di negara yang merdeka pada 25 November 1975 itu.
Pemerintah Indonesia dan Suriname melanjutkan tradisi bersahabat dengan mengadakan sejumlah pertemuan, diantaranya pertemuan Komisi Bersama Bilateral I RI-Suriname yang berlangsung di Paramaribo pada 03-05 April 2003.
Pada 22 November 2004 diadakan sidang lanjutan di Jogjakarta. Pada pertemuan kedua itu disepakati adanya sejumlah kegiatan diantaranya pelatihan di bidang otomotif bagi warga Suriname yang akan dilaksanakan di Indonesia pada 2005.
Indonesia juga akan mengundang pembicara dari Suriname untuk membahas peringatan 115 tahun imigrasi orang Jawa ke Suriname dan 100 tahun pelaksanaan transmigrasi di Indonesia.
Dalam pertemuan Direktur Pemukiman Kembali Ditjen Mobilitas Penduduk Depnakertrans Sugiarto Sumas dengan Menteri Perencanaan dan Kerjasama Pembangunan Suriname Keremchand Raghoebarshing dan Menteri Perburuhan, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Clifford Marica di Paramaribo terungkap keinginan kedua pihak untuk mengadakan lebih banyak kegiatan.
Diantaranya, pengiriman tenaga ahli dari Indonesia untuk melatih tenaga Suriname di berbagai bidang diantaranya pertanian, pariwisata, agribisnis, agroindustri dan pengelolaan hutan.
Suriname juga sangat berminat untuk mempelajari cara Indonesia mengembangkan daerah produktif baru untuk perkebunan atau pengembangan suatu wilayah.
Komisi bersama, sebenarnya sudah membahas berbagai bidang kerja sama kedua negara, seperti pertukaran pengalaman pembangunan nasional, meningkatkan perdagangan kedua negara, investasi, angkutan udara, turisme, kerja sama di bidang teknis, bantuan di bidang pelatihan, pendidikan, beasiswa non geloar, kerja sama di bidang komunikasi dan informasi, pencegahan kejahatan, pertahanan, dan sejumlah isu lainnya.
Kerinduan para imigran dan keturunannya akan budaya Jawa juga terungkap dalam pertemuan masyarakat keturunan imigran Jawa dengan Dubes RI Suparmin Sunjoyo dan Sugiarto Sumas di Distrik Wanica, dekat dari Paramaribo.
Sarmo, seorang warga keturunan Jawa pada kesempatan itu mendesak agar Indonesia segera megirim Guru Bahasa Jawa, Dalang, dan pengajar tari untuk mereka.
Dia juga mengharapkan Indonesia bisa mengirim pakar pertanian. Sementara keluarga imigran lainnya menagih janji pengiriman guru pencak silat.
Suparmin menjawabnya dengan simpati.
“Saya sudah bertemu dengan Sultan HB X, beliau menyangupi untuk mengirim guru bahasa Jawa, dalang dan guru tari. Jadi, saya sudah berusaha mewudjukan keinginan tersebut sebelum Pak Sarmo memintanya,” kata Suparmin lalu disambut tepuk tangan hadirin.
Mengenai, permintaan guru pencak silat, Dubes juga sudah membicarakannya dengan Prabowo, tokoh pencak silat Indonesia, sedangkan untuk penyediaan tenaga ahli pertanian, Suparmin akan membicarakannya dalam pertemuan lanjutan ketiga Komisi Bersama kedua negara dalam waktu dekat.
Interaksi Indonesia dan Suriname bisa tergambar pada antusiasme dan desakan Sarmo dan kawan-kawan akan peningkatan keterlibatan Indonesia dalam sendi-sendi kehidupan mereka.
“Indonesia adalah saudara kulo. Negara mbah kulo,” kata Sarmo.
Sarmo dan kawan-kawan memang “saudara” bagi orang Indonesia, meski berlainan kewarganegaraan.
Baca Selengkapnya...

Detik Detik Kemerdekaan

KAMI INGIN SEGERA MERDEKA

Pertentangan antara golongan tua dan muda terjadi jauh sebelum mendekati proklamasi yaitu saat Soekarno menjabat sebagai ketua Jawa Hookokai. Bertempat di gedung Hookokai depan Lapangan Banteng tanggal 8 Juni 1945 Soekarno didatangi para pemuda yang ingin menyampaikan aspirasinya. Ketika itu masa-masa sidang kedua BPUPKI dan tuntutan para pemuda adalah agar kemerdekaan benar-benar diperjuangkan dan segera diproklamasikan. Menurut para pemuda kemerdekaan Indonesia tidak perlu menunggu perintah dari Jepang.

Para pemuda pemberani dan revolusioner tersebut adalah anggota Gerakan Angkatan Baru yang diketuai oleh BM. Diah. Mereka berusaha menjelaskan kepada Soekarno bahwa mereka mengikuti setiap berita yang dilaporkan melalui radio-radio luar negeri. Berdasarkan berita yang mereka dengar, dikabarkan bahwa kekuatan Jepang di perang telah terdesak oleh sekutu. Diperkirakan tidak lama lagi Jepang akan lumpuh. Namun pernyataan dan berita menggembirakan itu tidak dapat meyakinkan Soekarno, karena Soekarno tetap bersihkukuh pada keputusan panitia untuk melanjutkan sidang BPUPKI.

Mendengar penolakan Soekarno, para pemuda dari Gerakan Angkatan Baru menjadi semakin kecewa setelah sebelumnya juga meminta dukungan Hatta namun ditolak. Penolakan tersebut mereka anggap bahwa Soekarno dan Hatta bukan pejuang revolusioner. Namun para pemuda tidak menyerah begitu saja, mereka terus-menerus mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Sampai kemudian para pemuda berada pada titik kulminasi kekecewaan terhadap para golongan tua, sehingga mencetuskan pengungsian Soekarno Hatta ke luar kota Jakarta yang kemudian dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok.

Angkatan Baru : Pelopor Gerakan Pemuda
Gerakan Angkatan Baru adalah letusan keinginan mewakili golongan pemuda yang tidak puas dengan kerja para tokoh nasionalis. Menurut mereka tokoh nasionalis yang mewakili golongan tua bersikap ragu-ragu dan lamban dalam mewujudkan kemerdekaan. Bagi mereka hal itu disebabkan oleh keterikatan para golongan tua pada masa silam dan umumnya mereka adalah golongan priyayi yang feodal. Angkatan baru mempunyai pandangan yang radikal, bagi mereka merdeka atau mati. Golongan ini menolak keras kerjasama dengan penjajah baik Belanda atau Jepang yang nantinya hanya akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Boneka milik para penjajah. Keinginan Gerakan Angkatan Baru sudah jelas yaitu “Indonesia merdeka sekarang juga, atas kekuatan tenaga nasional bangsa Indonesia”.

Gerakan Angkatan Baru terdiri dari beberapa orang akan menjadi pengurus, termasuk membuat Anggaran Dasar dan Pedoman Kerja yaitu BM. Diah sebagai ketua dan para anggotanya yaitu Chaerul Saleh, Supeno, Harsono Tjokroaminoto, Sudiro, Wikana, Sukarni, dan Asmara Hadi, Syarief Tajeb, dan Gultom. Sukarni dan Chaerul Saleh adalah dua pemuda yang berkerja di Sendenbu (Departemen Propaganda), dengan jabatan Sukarni adalah Yong-to-yo-eikan (Pegawai Tinggi IV). Karena itulah pada awalnya Sukarni tidak dipercayai oleh teman-temannya, namun karena sering mengadakan pertemuan dan dapat diketahui jalan pikirannya yang nasionalis maka lama-kelamaan mereka dapat percaya.

Sebelumnya Sukarni adalah ketua dari oraganisasi pemuda bernama Asrama Angkatan Baru Indonesia yang dikenal juga dengan sebutan Kelompok Menteng 31 karena markasnya berada di Jalan Menteng Raya No. 31, sementara Chaerul Saleh adalah wakil dari Sukarni di organisasi yang sama. Ada juga pemuda yang bekerja di bawah Kaigun (Angkatan Laut) Jepang yaitu Sudiro dan Wikana. Sementara BM. Diah yang bertindak sebagai ketua adalah seorang wartawan, maka bukan hal yang sulit baginya untuk mengetahui informasi terbaru mengenai keadaan Jepang di perang.

Gerakan yang mengucapkan ikrar pemuda pada tanggal 3 Juni 1945 ini menggunakan pancasila yang disampaikan Soekarno pada sidang BPUPKI sebagai landasan ideologis perjuangannya. Ikrar tersebut berbunyi :

“ Kami pemuda Indonesia menghendaki Indonesia merdeka sekarang juga, atas kesanggupan dan kekuatan sendiri. Barang siapa merintangi perjuangan kami, adalah pengahalang dan penghianat.”

Angkatan Baru kemudian mengadakan pertemuan menyambut rencana kemerdekaan Indonesia pada bulan Juni 1945. Pada waktu itu dikumandangkan negara merdeka konsep Angkatan Baru yaitu konsep negara merdeka yang dinamis serta modern. Keberanian mengungkapakan konsep negara merdeka tersebut kemudian diteruskan pemuda-pemuda sekolah menengah dan sekolah tinggi dengan mengadakan rapat di kebun binatang Cikini. Rapat tersebut menghasilkan sebuah keputusan penting bahwa gerakan baru sepakat “Membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat”.

Hasil kesepakatan para pemuda dalam Gerakan Angkatan Baru tersebut kemudian disampaikan kepada Soekarno dan Hatta sebagai bentuk meminta perhatian kedua tokoh nasionalis itu bahwa pemuda telah mempunyai tujuan dalam perjuangannya. Konsep perjuangan Gerakan Angkatan Baru juga dimuat dalam surat kabar Asia Raya tertanggal 15 dan 16 Juni 1945 yang mengatakan bahwa :

“ Angkatan baru Indonesia terutama sekali mendasarkan perjuangannya pada kekuatan sendiri dengan menaruh kepercayaan sebesar-besarnya akan kekuatan tenaga sendiri dan tenaga yang menjadi tenaga profesional.”

Semangat untuk menuntut bahwa negara Indonesia yang akan terbentuk nantinya adalah republik ternyata juga di dukung oleh para pemuda dan pelajar dari luar Gerakan Angkatan Baru. Diantaranya adalah sekolah kedokteran tinggi yang berpusat di Prapatan 10 dan Tjikini 71, dengan nama organisasi Persatuan Mahasiswa. Mereka mengadakan rapat besar di taman Raden Saleh yang dihadiri oleh segenap pelajar yang ada di Jakarta. Rapat tersebut diakhiri dengan demonstrasi dengan membawa poster yang berisi tuntutan meminta Negara Indonesia berbentuk republik.

Gerakan Angkatan Baru yaitu Chaerul Saleh, Sukarni, Supeno, Harsono Chokroaminoto, Asmara hadi, Wikana dan BM. Diah sejak akhir Juni 1945 mulai sering mengadakan rapat dan pertemuan membahas rencana kemerdekaan Indonesia. Sukarni yang mempunyai jiwa dinamis revolusioner bahkan sudah mempunyai rencana untuk menculik Soekarno dan Hatta apabila kedua tokoh tersebut tidak mau menjalankan konsep sesuai angakatan baru yaitu tegas menantang dan tidak berkerjasama dengan Jepang. Sebelumnya mereka juga telah mengeluarkan sebuah mosi yang bernama “Mosi Keteguhan Hati” untuk menunjukan ketetapan hati para pemuda mewujudkan kemerdekaan dan menolak penjajahan Jepang dalam segala bentuknya. Isi dari Mosi tersebut adalah pernyataan pemuda bahwa “ Indonesia bersatu membela Nusa, Bangsa dan Indonesia bersatu memasuki negara Indonesia”. Perjuangan pemuda tidak lagi untuk kejayaan Jepang dalam perang namun murni untuk kemerdekaan Indonesia seutuhnya.

Gerakan Angkatan Baru ternyata terdengar oleh pembesar Jepang sebagai pelopor gerakan pemuda. Gunseikanbo kemudian mengundang mereka untuk bertukar pikiran pada tanggal 30 Juni 1945. Saat itu hari sabtu, BM. Diah sebagai ketua dan Chaerul Saleh sebagai salah satu anggota datang memenuhi undangan Gunseikanbo. Mereka ditemui oleh Saito, Miyoshi, dan pembesar Jepang yang lain. Jepang rupanya kuatir dengan keberadaan Gerakan Angkatan Baru akan mempengaruhi para pemuda lain untuk melawan Jepang. Namun ketua Gerakan Angkatan Baru BM. Diah berhasil meyakinkan para pembesar Jepang bahwa mereka semata-mata bergerak untuk menyambut kemerdekaan Indonesia.

Golongan pemuda yang terwakil oleh Gerakan Angkatan Baru cenderung bersifat revolusioner. Tindakan mereka yang revolusioner terlihat saat jalannya sidang BPUPKI dalam menentukan bentuk negara Indonesia. Golongan pemuda menginginkan bentuk republik, sementara dari pihak Jepang mendaulat agar bentuk negara tidak dibahas namun menuggu keputusan dari Tenno Haika. Golongan pemuda tidak setuju dengan rancana pihak Jepang, Akhirnya mereka keluar dari sidang dan sidang diberhentikan untuk sesaat. Pada akhirnya keputusan tetap menggunakan republik sebagai bentuk negara atas kesepakatan bersama anggota sidang.

Soekarno dan Hatta sebagai golongan tua mendukung perjuangan dari golongan pemuda, walaupun dalam beberapa hal mereka berbeda. Keputusan akhir sidang untuk menggunakan republik sebagai bentuk negara sangat melegakan hati golongan pemuda. Sebagai bentuk penghargaan atas bantuan dan dukungan dalam perjuangan pemuda, mereka kemudian berkunjung kerumah Soekarno sesaat sidang diakhiri. Soekarno menerima kedatangan mereka dengan senang hati dan bangga, bahkan menyambut dengan kata-kata “ ayo, mari pemuda revolusioner”.

Diruang tamunya rumah Jalan Pegangsaan Timur para pemuda berbicara dengan Soekarno mengenai kondisi Jepang yang kemungkinan akan segera kalah melawan sekutu. Pemuda mengajak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu perintah dari Jepang. Karena kemerdekaan yang merupakan pemberian dari Jepang akan direbut lagi oleh sekutu apabila Jepang menyerah kepada sekutu, sehingga proklamasi harus dilakukan sendiri oleh rakyat Indonesia. Chaerul Saleh mewakili teman-temannya mengatakan :

“ Bung, kami mendengarkan siaran-siaran dari Australia. Kami pun mendengarkan siaran Amerika Serikat. Di samping radio yang disegel, yang hanya bisa menerima siaran pemerintah, kami mempunyai pesawat radio gelap yang disembunyikan di dalam lemari. Jakarta boleh saja menyiarkan setiap hari kemenangan demi kemenangan dari Angkatan Laut Jepang, akan tetapi kami lebih mengetahui bagaimana keadaan yang sesungguhnya.

Gerakan bahwa yang dilakukan oleh para pemuda cukup membahayakan karena mereka mendengarkan siaran radio yang jelas-jelas dilarang oleh pemerintah Jepang. Apabila ketahuan hukuman berat akan diterima, namun hal tersebut tidak membuat mereka takut. Sabotase dan pencurian senjata juga tak jarang dilakukan sebagai persiapan gerakan revolusioner yang mereka rencanakan. Soekarno dan beberapa tokoh nasionalis menyadari akan gerakan bawah tanah yang dilakuakan pemuda, namun mereka bertindak sangat hati-hati. Menurutnya, perlu direncanakan dan dipikirkan lebih matang untuk menyerang Jepang yang senjatanya lebih lengkap dan prajuritnya lebih siap. Bila revolusi yang didengungkan tanpa persiapan matang, hanya akan menyebabkan pertumbuhan darah rakyat yang tidak berdosa. Maka Soekarno berkata, “Kalau engkau, pemuda, hendak mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, cobalah tanya saya.”

Panasnya darah para pemuda dan semangatnya yang luar biasa untuk mewujudkan kemerdekaan yang tertuang dalam Gerakan Angakatan Baru ternyata menimbulkan kecurigaan Jepang. Akibatnya sebagian tokoh pemuda ditangkap oleh salah satu bagian dalam kepolisian Jepang yang bernama Tokubetsu Keiketsu (Polisi Istimewa). Mereka dituduh telah melakukan tindakan melawan pemerintah militer Jepang. Salah satu pemuda yang ditangkap adalah ketua dari Gerakan Angakatan Baru yaitu BM. Diah, dia ditangkap oleh polisi Jepang pada tanggal 7 Agustus 1945. Setelah menginap di sel polisi selama 8 hari kemudian dibebaskan pada tanggal 15 Agustus 1945. keluarnya BM. Diah dari sel atas permintaan dari keluarga Herawati istrinya. BM. Diah menyatakan dalam bukunya seperti yang dikutip di bawah ini :

“ Nishijima senang sekali bertemu dengan saya. Kabarnya ia dan Ichiki, seorang Jepang yang berstatus sama, tetapi dari balatentara Jepang membantu mengeluarkan saya atas permintaan keluarga istri saya, Mr. Soebardjo dan Mr. Sujono.”

Desakan Sjahrir
Mohammad Hatta yang tinggal di jalan Orange Boulevard 57 bertemu dengan Sjahrir sesaat setelah kepulangannya dari Dalat Saigon. Sjahrir dikenal sebagai tokoh nasionalis yang tidak mau bekerja sama dengan Jepang sehingga lebih banyak melakukan perjuangannya dibawah tanah. Kelompok Sjahrir terdiri dari teman-temannya di PNI baru seperti Sudarsono, Sukra Dan Sukanda. Kelompok Sjahrir yang paling penting adalah mendengarkan dan mengikuti dengan cermat setiap berita luar negeri yang disiarkan melalui radio yang tidak disegel pemerintah jepang.

Tindakan Sjahrir yang berjuang dibawah tanah sebenarnya kurang disukai oleh Soekarno. Mereka bertiga, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir merupakan tiga tokoh terkemuka dalam perjuangan Indonesia. Namun perbedaan ideology menyebabkan perjuangan mereka berbeda jalan. Soekarno dan Hatta bersifat kooperatif, sementara Sjahrir non kooperatif. Bahkan soekarno menduga bahwa tindakan revolusioner para pemuda merupakan ide dari Sjahrir. Soekarno mengatakan:

“Selama hidupnya Sjahrir tidak pernah bertindak terus terang seperti yang kulakukan. Dia tidak pernah maju kegaris depan pertempuran. Segala perjuangannya dilakukan dibelakangku. Dialah orang yang harus bertanggung jawab atas hasutan untuk menentangku dan atas segala peristiwa yang terjadi kemudian malam itu”.

Kedatangan Sjahrir dirumah Hatta untuk menanyakan masalah kemerdekaan Indonesia sekaligus menyampaikan berita yang didengarnya dari radio siaran luar negeri bahwa Jepang telah meminta damai kepada sekutu. Kelompok Sjahrirlah yang pertama kali mengetahui berita luar negeri yang mengabarkan tentang kekalahan Jepang. Apa yang dilkakukan kelompok Sjahrir ini sebenarnya mempunyai resiko yang sangat tinggi, sebab tentara Jepang melarang keras siapapun yang mendengarkan berita dari radio. Jika tindakan itu diketahui tentara Jepang maka dapat dikenakan hukuman mati. Sjahrir mengatakan kepada Hatta bahwa pengumuman kemerdekaan jangan dilakukan oleh PPKI karena itu akan menyebabkan munculnya anggapan dipihak sekutu bahwa Indonesia merdeka karena buatan Jepang. Seharusnya pernyataan kemerdekaan disampaikan oleh Sjahrir didengar baik-baik oleh Hatta, hanya saja Hatta ragu-ragu apakah Soekarno akan bersedia. Soekarno adalah ketua PPKI tentu dia tidak dapat mengambil keputusan seorang diri, karena jika itu dilakukan berarti Soekarno sudah merampas wewenang PPKI. Diskusi antara Hatta dan Sjahrir terus berlangsung namun mereka tak dapat menemukan jawabannya, maka harus ditanyakan secara langsung kepada Soekarno. Hatta kemudian menelpon kerumah Soekarno untuk menanyakan apakah mereka bisa berkunjung kerumah Soekarno saat itu juga. Soekarno ternyata mengizinkan kemudian keduanya meluncur kejalan pengangsaan timur dimana Soekarno dan keluarganya berkediaman.

Sesampainya dirumah Soekarno keduanya langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Mohammad Hatta mempersilahkan Sjahrir untuk mengemukakan berita yang dibawanya serta pendapat agar kemerdekaan Indonesia dilakukan secepatnya dan diumumkan oleh Soekarno sendiri melalui radio. Soekarno ternyata tidak setuju dengan usul Sjahrir.

” Memang di Saigon kami menduga, setelah Letnan Kolonel Nomura melaporkan bahwa tentara Rusia telah menyerbu Mancuko, bahwa Jepang pasti akan bertekuk lutut. Tetapi bahwa begitu lekas terjadinya aku belum percaya, sekalipun saudara Sjahrir mendengarkan berita dari siaran radio luar negeri yang kebanyakan dikuasai oleh sekutu. Oleh karena itu aku ingin mengecek dahulu dari Gunseikanbu. Besok kami berdua, Bung Hatta dan aku akan pergi kesana.”

Aku tidak berhak bertindak sendiri, hak itu adalah tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan yang aku menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia aku bertindak sendiri melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang kuketuai.

Keesokan harinya tanggal 15 Agustus 1945 disertai dengan Hatta, Soekarno pergi ke Gunseikanbu (Kepala Pemerintahan Penduduk Jepang). Kantor yang dulunya merupakan bekas gedung Bataafsche Petrolrum Maatschappij (BPM) ternyata kosong, hanya ada opsir tentara yang bertugas. Menurut keterangan opsir tersebut semua pejabat Gunseikanbu dipanggil ke Gunseirebu (Markas Besar Angkatan Perang). Melihat bahwa kantor Gunseikanbu kosong dan tujuan tidak tersampaikan mereka kemudian menuju ke kantor Ahmad Subardjo, siapa tahu Soebardjo telah mengetahui kabar tentang kekalahan Jepang.

Setelah bertemu Soebardjo, ternyata dia pun belum mengetahui apapun mengenai berita Jepang dalam perang. Dia kemudian mengusulkan untuk mencari informasi ke Laksamana Muda Maeda, kepada Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut).

”Saya segera meminta sekertaris saya Sudiro untuk menghubungi kantor Maeda dan menyampaikan keinginan kami bertiga untuk bertukar pikiran dengan laksamana Muda tersebut. Ia dapat menerima kami pada sekitar jam 14.30 lewat tengah hari. Kantornya bertempat di sebelah utara dari lapangan yang waktu itu bernama ”Koningsplein” dan sekarang medan merdeka, dalam gedung ”Volkscreditwezen”, sekarang dipakai sebagai Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).”

Perwira Angkatan Laut yang berbicara dalam banyak bahasa itu merupakan tokoh Jepang yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia, sehingga menjadi hal yang biasa bahwa keluhan dan pertanyaan mengganjal dari tokoh nasionalis Indonesia ditanyakan kepadanya. Pengalamnya sebagai perwira Angkatan Laut yang banyak menjelajah dunia melebihi para perwira Angakatan Darat menyebabkan pemikirannya bersifat lebih terbuka. Selain itu juga dipengaruhi oleh latar belakang kemiliteraannya, karena Angkatan Darat lebih doktiner dan loyal, sementara Angkatan Laut lebih liberal. Dikenal sebagai Silent general, Maeda memang pendukung kemerdekaan Indonesia. Dia pernah mengatakan ”Jangan meninggalkan Indonesia karena Indonesia kaya akan sumber daya alam dan manusia”.

Ketiganya kemudian bergegas menuju ke Kantor Penghubung Angkatan Laut yang terletak di sebelah utara Lapangan Ikada. Setelah bertemu Laksamana Muda Maeda, Soekarno kemudian mengatakan bahwa dia sudah meminta bertemu dengan pembesar-pembesar Jepang namun tak ada satu pun yang bersedia menerima. Soerkarno juga menanyakan kabar yang didengar dari siaran radio luar negeri bahwa Jepang telah meminta damai kepada sekutu, sehingga hal tersebut akan membuat perubahan penting pada kondisi di Indonesia.

Pertanyaan Soekarno tak langsung dijawab oleh Laksaman Muda Maeda, dia diam sejenak berpikir. Setelah beberapa saat berdiam diri dia mengatakan bahwa berita tersebut memang disiarkan oleh sekutu, tetapi pihak Jepang di Indonesia belum memperoleh berita dari Tokyo. Instruksi dari Tokyo-lah yang dipercaya oleh pembesar Jepang di Indonesia.

” Walaupun cukup pasti bahwa suatu perubahan penting telah terhjadi, hingga sekarang belum diterima kawat resmi tentang hal ini, dan karenanya belum mungkin untuk menjawab anda secara resmi.”

Setelah mendengar jawaban dari Laksamana Maeda, ketiganya kemudian memohon diri untuk pulang. Hatta mengusulkan agar rapat PPKI diajukan pelaksanaannya menjadi tanggal 16 Agustus 1945 keesokan harinya yang sebelumnya dijadwalkan akan diadakan tanggal 18 Agustus 1945. Usul ini disetujui oleh Soekarno dan rencananya rapat akan diadakan di gedung bekas Raad van Indie atau Dewan Pemerintah Hindia Belanda jam 10 pagi. Ahmad Subardjo bertugas untuk mengundang anggota-anggota PPKI yang kesemuanya berkumpul dan menginap di hotel Des Indes. Setelah kesepakatan dan pembagian tugas antara Soekarno, Hatta, dan Ahmad Subrdjo selesai masing-masing pulang ke rumahnya.

Ahmad Subardjo yang tidak puas dengan keterangan dari Laksamana Muda Maeda setelah makan malam ditemani dengan sekertarisnya Sudiro mencari informasi ke tempat di mana oarang-orang Jepang bertempat tinggal yaitu di Jalan Kebon Sirih 80. tempat tersebut digunakan sebagai pertemuan bagi penghubung-penghubung angkatan laut Jepang di Indonesia. Ternyata di tempat tersebut sudah ada beberapa orang Indonesia antara lain Buntaran dan Iwa Kusuma Sumantri. Keduanya ternyata juga mencari informasi yang sama seperti yang di cari Ahmad Subardjo dan Sekretarisnya Sudiro. Ahmad Subardjo menceritakan saat-saat itu seperti dalam kutipan berikut :

” Sedikit orang Jepang yang kebetulan berada di situpun tidak bisa memberikan keterangan lebih dari apa yang telah kami ketahui. Tetapi tindak-tanduk dan sikap menahan diri mereka memberi kesan kepada kami bahawa berita tentang penyerahan tersebut telah sampai pada mereka. Mereka dalam keadaan lesu tak bersemangat dan terus menerus minum-minuman keras.
Saya meninggalkan tempat tersebut tanpa tambahan bahan apapun, dan dengan ditemani oleh Buntaran dan Iwa Kusuma Sumantri.”

Ahmad Subardjo beserta Buntaran dan Iwa Kusuma Sumantri berkehendak untuk menuju rumah Soekarno. Saat melewati rumah Hatta ketiganya mampir untuk mengajak Hatta sekalian ke rumah Soekarno. Saat itu Hatta sedang sibuk mempersiapkan naskah untuk rapat keesokan harinya.

Bertemu di Bakteorologi Pegangsaan
Para golongan pemuda mempunyai pendapat sendiri tentang kemerdekaan Indonesia yang sedang dipersiapkan oleh PPKI. Setelah mereka mendengar dari radio-radio luar negeri mengenai kekalahan Jepang terhadap sekutu maka kemerdekaan harus segera diproklamasikan. Berawal dari Aidit yang mengumpulkan teman-teman seperjuangannya pada tanggal 15 Agustus 1945 sore di kantor Baperki (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) di Cikini 71. Saat itulah Aidit menghubungi Wikana yang juga tokoh dari golongan pemuda untuk menghubungi teman-teman perjuangan dalam rangka persiapan pertemuan rahasia yang akan diadakan di ruang belakang Kebon Jarak Institut Bakteorologi Pengangsaan.

Pada waktu yang sama, rumah Hatta didatangi oleh dua orang pemuda masing-masing Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto. Kedatangan keduanya untuk mengabarkan berita yang mereka dengar lewat radio bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Mereka mendesak Hatta untuk membantu agar kemerdekaan jangan dilaksanakan oleh PPKI yang dikenal sebagai buatan Jepang, namun harus dilakukan sendiri oleh Soekarno sebagai pemimpin rakyat melalui corong radio. Usul para pemuda ini sama persis seperti usul Syahrir yang sudah disampaikan lebih dulu kepada Hatta. Pemerintah Jepang melalui Jenderal Terauchi sudah mengakui kemerdekaan Indonesia dan pelaksnaannya akan dilakukan oleh PPKI yang akan mengadakan rapat besok pagi jam 10 di gedung kantor Dewan Sanyo, sehingga Hatta menolak usul mereka.
Keterangan Hatta ini tidak membuat para pemuda lega namun justru semakin emosi. Hatta pun berusaha meyakinkan para pemuda bahwa Soekarno tidak akan bersedia untuk melaksanakan kemerdekaan sendiri, karena tidak mau merampas wewenang PPKI sebagai panitia resmi. Perbedaan pendapat antara para pemuda dengan Hatta ternyata tak membawa titik temu, keduanya sama-sama mempertahankan pendapatnya. Gagal meminta dukungan dan bantuan dari Hatta, para pemuda kemudian meninggalkan rumah Hatta dengan lebih dulu mengatakan ”Di saat revolusi rupanya kami tidak dapat membawa Bung serta, Bung tidak revolusioner.” Mendengar kata-kata para pemuda, Hatta hanya tersenyum dan mengatakan bahwa tindakan mereka bukan revolusi namun lebih kepada ”putsch” seperti yang dilakukan oleh Hilter dan akhirnya gagal. Hatta tidak ingin mereka mengadakan revolusi tanpa persiapan yang matang dan tidak melihat situasi. Namun bagaimanapun juga mereka tetaplah pemuda yang berjiwa panas, keterangan yang disampaikan Hatta dianggap sebagai tanda bahwa Hatta bukan seorang revolusioner.

Gagal mendapat dukungan dari Hatta, kemudian para golongan pemuda mengadakan pertemuan yang sebelumnya memang sudah direncanakan. Pertemuan tersebut dilaksanakan pada pukul 19.00 malam diruang belakang Kebon Jarak Institut Bakteorologi Pagangsaan. Pemuda-pemuda yang ada di dalam pertemuan tersebut adalah Chaerul Saleh, Darwis, Kusnandar, Subianto, Margono, Aidit, Djohar Nur, Pardjono, Abubakar, Sudewo, Subadio, Suroto Kunto, dan disusul dengan kedatangan Wikana dan Armansjah. Bertindak sebagai pemimpin adalah Chaerul Saleh, pertemuan rahasia tersebut membicarakan tentang gagasan bahwa Indonesia harus segera memproklamasikan kemerdekaannya dengan sesegera mungkin. Para pemuda memutuskan hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan yaitu merdeka atau mati.

Kegagalan mendapat dukungan dari Hatta, maka hasil keputusan tersebut akan disampaikan kepada Soekarno. Dipilihlah wakil dari para pemuda tersebut untuk menyampaikan hasil keputusan kepada Soekarno yaitu Wikana sebagai ketua rombongan. Djohar Nur diperintahkan untuk menyusun persiapan pelajar-pelajar yang ada di asramanya, dengan kesepakatan bahwa mereka nanti akan bertemu kembali di Tjikini 71 setelah Darwis dan Wikana menemui Soekarno.

”Bung, Harus Segera Bersiap!”
Tanggal 15 Agustus 1945 petang, Soekarno berada di rumahnya Jalan Pengangsaan Timur Jakarta. Saat itu, Soekarno sedang menemui Sayuti Melik, di mana pertemuan itu adalah pertemuan pertama antara keduanya setelah hampir tiga tahun Sayuti Melik berada di penjara Ambarawa. Tuduhan Jepang atas keterlibatan dirinya sebagai anggota PKI bawah tanah yang menyebarkan pamflet berisi hasutan anti Jepang menjadi penyebab terseretnya Sayuti Melik ke penjara. Semua yang diduga anggota PKI bawah tanah ditangkap dan dipenjarakan, termasuk di dalamnya Sayuti Melik, walaupun sebenarnya dia bukan anggota PKI bawah tanah, namun tampaknya pengakuan jujur tersebut bukannya dipercaya justru membuatnya makin disiksa dan dipenjarakan.

Saat di penjara Ambarawa inilah Sayuti Melik mengarang, walaupun sebenarnya karangannya menggunakan nama orang lain yaitu R.M. Hadikusumo.
” Saya diberitahu tentang adanya sayembara itu oleh seorang mantri penjara barnama R.M. Hadikusumo. Dia menyuruh saya membuat karangan tersebut atas nama dia. Konsep saya tulis, kemudian yang mengetik adalah Sugiyono, adik Sayuti Melok.”

Lomba mengarang diadakan oleh Jawa Hookookai atau Perhimpunan Kebaktian Rakyat. Badan yang dibentuk tanggal 1 Maret 1944 sebagai pengganti Poetera ini memberikan tema untuk lomba mengarangnya yaitu ”Kemerdekaan dan Kebudayaan”. Juri sayembara pada waktu itu adalah Mohammad Yamin yang sudah sangat kenal dengan Sayuti Melik dan mengetahui bahwa Sayuti Melik sedang di penjara Ambarawa. Yamin hapal dengan gaya tulisan Sayuti Melik, sehingga dia yakin walaupun karangan itu atas nama R.M. Hadikusumo tapi sebenarnya yang menulis adalah Sayuti Melik. Yamin kemudian melaporkan mengenai karangan tersebut kepada Soerkarno yang merupakan kepala kantor Jawa Hookookai, dan oleh Bung Karno diperintahkan agar karangan tersebut diberi juara satu. Pada saat itulah Soekarno mendengar kembali nama Sayuti Melik, perjumpaan mereka baru terjadi kembali tanggal 15 Agustus petang di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur Jakarta.

Bertempat di ruang kerja Soekarno inilah, keduanya terlihat perbincangan mengenai banyak hal terutama situasi menjelang penyerahan kemerdekaan Indonesia oleh Jepang. Sayuti Melik lebih banyak bertindak sebagai pendengar, dan sesekali mengungkapkan pendapatnya. Setelah berbincang agak lama dengan Sayuti Melik, Soekarno mendapat tamu lain yang ternyata adalah para pemuda. Inilah awal dari peristiwa Rengasdengklok mejelang proklamasi.
” Sesudah kurang lebih dua jam Bung Karno mengajak saya berbincang-bincang, waktu sudah agak malam, datanglah pemuda ingin bertemu dengan bung karno. Bung Karno dari ruang kerja dan saya mengikuti di belakangnya, tetapi saya tidak mengikuti sampai diruang depan tempat beberapa pemuda itu duduk melainkan saya berhenti di balik pintu angin. Yang saya kenal betul di antara pemuda-pemuda itu adalah Wikana, ia bekerja di kaigun bersama dengan MR. Subardjo dan Darwis, sedangkan yang lainnya saya kurang begitu mengenalnya.”

Kelompok pemuda yang diwakili oleh Wikana sebagai pembicara mengutarakan maksud kedatangannya yaitu meminta agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan pada malam hari itu juga karena mereka telah mengetahui informasi bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 siang. Pemuda yang mendesak Soekarno, dengan ketegasan Wikana mendesak.

” Bung, kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta kepada Bung Karno supaya menentukan sikap sekarang. Bung tahu, Jepang sudah kalah dan sudah minta damai! Juga sudah menyerah tanpa syarat pada sekutu.”

Soekarno diam sebentar mendengarkan kata-kata Wikana, kemudian dengan kewibawannya yang besar dia menolak permintaan para pemuda karena mempunyai pertimbangan sendiri yaitu tidak mau mengorbankan rakyat apabila revolusi yang dilakukan gagal. Soekarno berusaha menenangkan para pemuda yang mulai gelisah dan tidak sabar untuk mengadakan revolusi untuk memproklamsikan kemerdekaan Indonesia. Para pemuda merasa sudah siap sedia jika harus revolusi, mereka hanya terlalu terburu-buru dan gegabah. Dia kemudian berkata :

” Saya belum mendengar berita itu, saya baru saja kembali dari Saigon bahkan belum sempat lapor kepada panitia persiapan kemerdekaan; saya punya kawan, jadi untuk hal itu saya tidak berani mengambil keputusan sendiri dan harus rundingkan dulu dengan kawan-kawan yang lain.”

Di tengah-tengah perbincangan antara para pemuda dan Soekarno datanglah beberapa orang yang lain yaitu Hatta, Mr. Subardjo, Dr. Buntaran, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan Dr. Samsi, Djojopranoto, dan mbah Diro. (Sidik Kertapati, Op., Cit., hlm. 76.) Soekarno yang tadinya sedang berdebat dengan para pemuda yang diwakili oleh Wikana sebagai juru bicara menjadi senang atas kedatangan teman-temannya. Sementara Subrdjo sendiri justru sangat terkejut melihat Wikana yang merupakan bawahannya berada di rumah Soekarno. Subardjo menceritakan ketegangan di rumah Soekarno sebagai berikut :

” Setiba kami di rumah kediaman Soekarno pada kurang lebih jam 11.00 malam, kami menemukannya sedang duduk dalam ruang duduknya yang memanjang itu, dikelilingi oleh para pemuda. Ia sedang berdebat sengit dengan mereka. Diantara pemuda-pemuda tersebut terdapat Wikana. Saya agak terkejut melihat kehadirannya disitu. Saya lebih-lebih terperanjat menyaksiskan ia sebagai juru bicara dari para pemuda tersebut! Bukankah Wikana adalah bawahan saya!”

Keterkejutan Subardjo atas keberadaan Wikana dirumah Soekarno menjadi hal yang wajar karena Wikana adalah bawahannya yang kemudian bekerja pada Kaigu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) tanpa sepengetahuannya. Wikana terlibat dalam gerakan kiri pada saat di bawah pemerintahan Belanda. Maka ia termasuk golongan orang-orang yang dicari oleh pemerintah Belanda. Untuk melindungi dirinya kemudian dia menggunakan nama samaran Sunata. Kelicinan dan kepandaian Wikana bersiasat akhirnya membuat dia berhasil masuk ke Kaigun. Keikutsertaannya ke Kaigun sebagai maksud untuk mendapatkan perlindungan bila sewaktu-waktu dia dicari oleh belanda.

Soekarno yang tadinya emosi, dengan kedatangan teman-temanya menjadi sedikit lega hati, emosinya dapat sedikit dipadamkan. Soekarno kemudian menanyakan pendapat para golongan tua di antaranya Soebardjo dan Hatta. Soebardjo mendukung pendapat Soekarno, bahwa tindakan revolusioner harus dipertimbangkan matang-matang.

” Setiap perjuangan harus diperhitungkan untung ruginya, pada ketika debu telah menetap. Kami percaya pada kekuatan pemuda serta kerelaan berkorban, juga kami dulu berani mengorbankan diri mencapai tujuan. Tetapi persoalan sekarang. Apakah kita memiliki cukup senjata? Sudah mampukah kita?”

Sejalan dengan Soekarno dan Soebardjo, Hatta yang pendapatnya sudah pernah disampaikan kepada Sjahrir sebelumnya mengatakan dan mempertegas bahwa selama berita penegasan resmi tentang penyerahan Jepang belum diperoleh, dan sebelum mereka mengetahui pendapat Gunseikan (kepala Pemerintahan Militer Jepang) dan Somubutyo (kepala Urusan Umum), ia dan Soekarno tidak diperbolehkan memproklamasikan kemerdekaan. Dia pun menambahkan bahwa ia dan Soekarno tidak mempan dengan gertakan pemuda. Bahkan Hatta mengatakan dengan nada agak keras :

” Kalau saudara berkeyakinan demikian, proklamasi sendirilah kemerdekaan itu! Jangan orang lain di paksa-paksa; kami telah mempunyai rencana kerja sendiri.”

Pihak PPKI yang diwakili Soekarno dan Hatta sepakat bahwa kemerdekaan tak bisa dilaksanakan dengan tergesa-gesa namun harus dipertimbangkan masak-masak menyangkut berbagai hal penting lainnya. Golongan pemuda yang terdiri dari Wikana, Chaerul Saleh, BM. Diah, Sukarni, dan anggota Gerakan Angkatan Baru yang lain rata-rata berusia 27-28 tahun memiliki jiwa yang revolusioner dan berdarah panas. Sementara golongan tua yang rata-rata berusia 45-50 tahun lebih stabil dan berdarah dingin sehingga segala sesuatunya dipikirkan matang-matang. Mereka tidak mau gegabah mengadakan revolusi, karena jika revolusi gagal maka yang menjadi korban adalah rakyat Indonesia seluruhnya.

”Penggal Kepalaku!” Kata Soekarno
Pembicaraan antara golongan tua dan golongan muda belum menemukan titik temu karena keduanya sama-sama bertahan pada pendapatnya masing-masing. Untuk meredam suasana Hatta mengajak Soekarno dan dr. Boentaran masuk ke dalam ruangan yang berbeda dari ruangan dimana para pemuda berkumpul. Di dalam ruangan yang lebih lengang, ketiga orang tersebut berembuk dan menghasilkan keputusan bahwa mereka tidak mau memproklamasikan kemerdekaan malam itu, jika para pemuda memaksa dipersilahkan untuk mencari pemimpin yang lain. Setelah keempatnya sepakat kemudian kembali ke ruang di mana pemuda telah menunggu untuk mendapatkan jawabannya. Hasil kesepakatan keempatnya kemudian disampaikan dengan gamblang kepada para pemuda. Soekarno memang tidak tertarik dengan usul para pemuda karena baginya itu sangat membahayakan keselamatan rakyat Indonesia seluruhnya.

Penolakan yang disampaikan Soekarno dan Hatta jelas mengecewakan para pemuda. Keinginan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan sudah membayang di depan mata karena para pemuda ini yakin kalahnya Jepang kepada sekutu adalah saat yang paling tidak tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan. Terdengarlah salah satu pemuda mengatakan ” Kami tidak sedia diserahkan sebagai inventaris oleh Jepang pada penjajah Belanda melalui sekutu, tidak, kami akan berontak!” Kemudian disusul dengan sorakan para pemuda dengan suara meninggi ”Ya, berontak, Bung!”

Para pemuda semakin mendesak bahwa proklamasi harus segera dilaksanakan dan kemerdekaan seterusnya pemuda yang bertanggung jawab. Namun mereka sadar bahwa tidak mungkin menyatakan proklamasi sendiri, harus diwakili oleh seorang tokoh nasional yang dipercaya dan dicintai rakyat. Keadaan makin memanas dan jiwa para pemuda sudah berapi-api, maka Wikana sebagai wakil dan juru bicara pemuda menjadi semakin emosi dan mengatakan :

”Jika bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran besok hari.”

Mendengar perkataan Wikana yang bernada mengancam, naiklah emosi dan kemarahan Soekarno, dengan nada tak kalah keras Soekarno berdiri dan berkata :

” Ini kuduku boleh potong, hayo! Boleh penggal kepalaku, engkau bisa membunuhku, tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena hendak menjalankan sesuatu menurut kemauanmu.”

Wikana kaget dan terperanjat mendengar perkataan Bung Karno, dengan agak mundur sedikit ke belakang dia mengatakan bahwa maksudnya bukan membunuh Bung Karno melainkan ingin memperingatkan jika kemerdekaan tak segera diproklamasikan, maka besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai kelompok pro-Belanda. Kemudian dengan nada bicara lebih pelan, Wikana berkata :

“Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda, seperti orang-orang Ambon, dan lain-lain.”

Usaha untuk membujuk Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan ternyata tidak membawa hasil, maka rombongan para pemuda ini kemudian pamit pulang. Rombongan Wikana ternyata dijemput oleh Djohar Nur, yang diutus teman-teman pemuda yang telah menunggu terlalu lama di gedung Bakteriologi.

Sepulangnya para tamu dan rombongan pemuda tersebut, Soekarno memikirkan kata-kata Wikana. Para pemuda tersebut tentu tidak main-main dengan desakan mereka terhadap Soekarno dan sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan sebelumnya, bahkan Soekarno sempat berkata ” Wikana itu orangnya serius, biasanya tidak main-main; keteranganya perlu kita perhatikan”. Setelah para pemuda pemuda pulang disusul dengan tamu Soekarno lain juga pulang ke rumah masing-masing. Saat itu malam sudah sangat larut yang terdengar hanya suara-suara angin malam. Saat itu bulan puasa dan hanya beberapa jam setelahnya akan terjadi peristiwa Rengasdengklok yang amat terkenal.



Golongan pemuda yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Bakteorologi, setelah dari rumah Soekarno mereka bertemu di Tjikini 71 sesuai dengan kesepakatan. Dipimpin oleh Chaerul Saleh, pertemuan tersebut diawali dengan laporan dari Wikana tentang hasil dari kunjungan ke rumah Soekarno. Seluruh anggota pemuda yang ada di tempat tersebut kemudian mendengarkan dengan seksama keterangan dari Wikana. Di antara mereka ada yang mengajukan usul supaya proklamasi dilakukan sendiri oleh rakyat, usul yang lain mengatakan bahwa agar diadakan lagi pertemuan dengan Soekarno dan Hatta di tengah-tengah rakyat sehingga biarlah rakyat sendiri yang mendesak mereka.

Di tengah kebimbangan jalan keluar untuk tindakan pemuda selanjutnya, Sukarni mengajukan sebuah usul yang sebenarnya sudah pernah terpikir olehnya jauh hari saat Gerakan Angkatan Baru didirikan. Menurutnya Soekarno dan Hatta harus dibawa keluar kota Jakarta, tempat di mana kedua tokoh tersebut jauh dari pengaruh Jepang. Usul Sukarni ini kemudian disetujui oleh semua yang hadir, dan bergeraklah para pemuda.


KEMERDEKAAN DI UJUNG MATA


Rengasdengklok : Bung Karno Bukan Diculik
Kunjungan Bung Karno, Bung Hatta, dan KRT Wedyodiningrat ke Saigon atas undangan penglima militer Jepang di kawasan ini setelah bocornya pernyataan bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu. Berbagai kelompok pemuda yang sudah mengetahui menyerahnya Jepang, segera secara terpisah mengirim utusan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar segera memproklamirkan kemerdekaan. Pemuda mendesak agar kemerdekaan segera diproklamirkan. Sehingga kemerdekaan itu bukan ” Hadiah ” Jepang, dan terjadi sebelum tentara sekutu mendarat di Indonesia. Memang Jepang telah mengatakan akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pemuda juga khawatir kalau sekutu mendarat sebelum proklamasi, maka tentara Belanda yang sudah mempunyai organisasi pemerintahan sipil sementara (NICA) akan membonceng dan mengklaim kekuasaan kembali di Indonesia.

Bung Karno dan Bung Hatta menolak tuntutan pemuda. Akibatnya kedua pemimpin itu diculik pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok. Pelaku sejarah Peristiwa Rengasdengklok, Latief Hendraningrat, Bekas Cudanco PETA dan pengibar bendera proklamsi itu menuturkan pengalaman menjelang dan pada hari proklamasi.

” Sebenarnya mereka bukan diculik tetapi dijauhkan dari Jakarta, agar jangan dipengaruhi pimpinan militer dan pemerintahan Jepang. Soalnya tentara Jepang secara de facto tetap berkuasa di Indonesia atas perintah sekutu untuk memelihara ketertiban. Dan tentara Jepang masih lengkap persenjataanya. Lenyapnya Bung Karno dan Bung Hatta mengejutkan Mr. Ahmad Subardjo Joyodisuryo, seorang bekas tokoh Perhimpuan Indonesia, yang ketika itu bekerja pada kantor penghubung Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Jakarta yang di kepalai Laksamana Muda Maeda.
Menurut rencana pada 16 Agustus 1945 akan bersidang Panitia Persiapan Kemerdekaan di Pejambon. Panitia ini memang dibentuk oleh Pemerintahan Jepang dan diketahui Soekarno dan wakilnya Hatta. Subardjo juga khawatir kedua tokoh diculik Angkatan Darat Jepang (Rikugun) atau jatuh ke tangan mereka dan dibunuh. Karena itu Subardjo melaporkan kepada Maeda dan meminta bantuan Kaigun kalau memang Bung Karno dan Bung Hatta ada di tangan Rikugun. Kaigun sejak awal sudah simpati terhadap bangsa Indonesia dan perjuangannya. Dan terutama Maeda pribadi banyak membantu usaha bangsa Indonesia dalam dua hari mendatang. Sikap Kaigun itu amat berbeda dibanding sikap Rikugun yang keras.
Mr. Subardjo mendapat jaminan bantuan dari Maeda yang juga terkejut atas kejadian itu. Maeda menyatakan ia sendiri hari itu akan memberitahukan tentang penyerahan Jepang kepada sekutu. Dan mengungkapkan Jepang sebenarnya akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945. Pada masa itu kerjasama berbagai kelompok pemuda dengan PETA telah memiliki hubungan yang baik. Meski secara rahasia Daidan PETA di Jakarta pernah memberikan latihan militer kepada berbagai kelompok pemuda.”

Sementara pengakuan mantan anggota PETA yang terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok, Jusuf Kunto, Soekarno dan Hatta diamankan ke luar kota karena para pemuda dan PETA takut akan keselamatan kedua pemimpin bangsa itu. Kepada Achmad Subardjo Jusuf Kunto, disertai Pandu Kartawiguna dan Wikana mengatakan alasan mereka membawa Soekarno dan Hatta adalah ” Karena rasa kekhawatiran bahwa mereka akan dibunuh oleh pihak Angkatan Darat Jepang atau paling sedikitnya dipergunakan sebagai sandera kalau kerusuhan timbul, karena tentara PETA bermaksud akan melancarkan suatu demonstrasi besar. Adalah karena alasan-alasan keselamatan mengapa Soekarno dan Hatta dibawa keluar kota.”

Pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta pun dikoordinasikan dengan PETA. Daidan PETA Jakarta ketika itu dipimpin oleh Daidanco Mr. Kasman Singodimedjo namun dia pada 13 Agsutus untuk beberapa hari dipanggil tugas ke Bandung wewenangnya diberikan kepada Cudanco Komandan Kompi Latief Hendraningrat. Rengasdengklok dipilih sebagai tempat pengamanan bagi Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan Guntur yang masih bayi karena dianggap aman dan dekat pantai. Kalau perlu pemimpin dapat dilarikan dengan perahu ke tempat lain.



Rengasdengklok adalah sebuah kecamatan yang letaknya sekitar 20 km arah utara Karawang, Jabar yang letaknya di sisi Sungai Citarum. Daerah inilah yang sebenarnya merupakan ”lumbung beras” Karawang. Pada zaman pendudukan Jepang, Rengasdengklok dijadikan tangsi PETA di bawahi Purwakarta. Selain letaknya dekat pantai, Rengasdengklok letaknya juga berdekatan dengan Jakarta dan memiliki hubungan langsung dengan Daidan PETA di Jagamonyet Rengasdengklok, akhirnya dijadikan tempat tujuan membawa rombongan Bung Karno dan Bung Hatta. Subuh ini, sekelompok pemuda dan PETA antara lain Sukarni, Singih dan Jusuf Kunto dan anggota PETA lainnya membawa rombongan Bung Karno ke Rengasdengklok dengan sebuah kendaraan yang kemudikan Iding, seorang anggota PETA.

Apa yang terjadi di tangsi PETA itu, sejak lama pernah menjadi bahan pembahasan menarik. Bung Hatta dalam buah tangannya di Mimbar Indonesia, 17 Agustus 1951 mengungkapkan situasi selama berada di tangsi tersebut. ” Di Rengasdengklok tidak ada perundingan satu pun. Disana kami menganggur satu hari lamanya, seolah-olah mempersaksikan dari jauh gagalnya suatu cita-cita yang tidak berdasarkan realitet. Tetapi, kalau ada satu tempat di Indonesia di mana betul-betul ada perampasan kekuasaan, tempat itu ialah Rengasdengklok.”

Memang pada siang itu, di depan Kantor Wedana Rengasdengklok, Asisten Wedana Rengasdengklok Sujono Hadipranoto dan beberapa tokoh masyarakat setempat seperti Masrin Hasani memimpin pengibaran Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itu sekaligus pencerminan tekad dan semangat bangsa Indonesia yang inspirasinya didorong tekad para pemuda dalam cara merebut kemerdekaan. Pantas jika pejuang wanita, Sk Trimurti menyatakan bahwa Rengasdengklok sebagai salah satu ”mata rantai” yang tak terpisahkan dengan Menteng Raya 31 dan Pegangsaan Timur 56. menteng Raya 31 merupakan gedung tempat berkumpulnya para pemuda pejuang di Jakarta dan Pegangsaan Timur 56 tempat diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Episode Rengasdengklok diawali pada kamis 16 Agustus 1945 dini hari, yakni kira-kira pukul 03.30 pagi, para pemuda berseragam masuk diam-diam ke rumah Soekarno. Soekarno yang malam itu tak bisa tidur duduk sendirian di ruang makan menikmati makan sahur puasa Ramadhan. Salah seorang pemuda bernama Sukarni lengkap dengan pistol di pingang dan sebilah pisau panjang di tangan kanannya tiba-tiba membelebab, ”Berpakaianlah Bung! Sudah tiba saatnya,” Soekarno marah dengan mata menyala-nyala mengertak kepada para pemuda itu, ”Ya, sudah tiba saatnya untuk dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal, aku kehilangan kepala, engkau juga begitu yang lainnya. Anak buah mati ada gantinya, tapi pemimpin? Kalau aku mati coba siapa pikirmu yang akan memimpin rakyat bila datang waktunya yang tepat?”

Mendengar suara yang gaduh dan ribut-ribut di ruang makan itu, Fatma yang berada di kamar tidur mencoba mengintip. Ia mengenali beberapa pemuda yang sedang berdebat dengan suaminya itu, salah satunya pemuda Sukarni. Mendengar keributan itu Guntur bangun dari tidurnya. Fatma kemudian mengangkat Guntur dipangkuannya. Ia hanya diam duduk ditempat tidur, tak berani keluar. Lama setelah perdebatan yang tak seimbang itu, Soekarno kemudian masuk ke kamar dan berkata kepada Fatma yang lebih dulu terbangun karena suara gaduh itu, ”Fat, pemuda akan membawa Mas ke luar kota. Fat ikut apa tinggal?” ia pun kemudian menjawab, ”Fat sama Guntur ikut. Ke mana Mas pergi di situ aku berada juga.” mendengar jawaban itu, Soekarno kemudian menyuruh Fatma untuk segera berkemas. Fatma kemudian tak bertanya apa-apa, ia hanya terlihat sibuk mengisi tas dan memakaikan Baby Caps kepada Guntur. Dengan selendang panjang, Guntur kemudian digendongnya. Mereka bertiga meninggalkan kamar tidur menuju ke ruang depan.

Di halaman rumah sudah menunggu sedan Fiat hitam kecil. Di dalam ternyata sudah menunggu Muhammad Hatta. Sebelum ke rumah Bung Karno, Sukarni dan Jusuf Kunto menuju ke rumah Bung Hatta. Mereka berdualah yang menjemput paksa Bung Hatta. Sebenarnya Dr. Muwardi sebelumnya sudah diturunkan di depan rumah Bung Karno, namun karena dikira Bung Karno masih tidur ia tidak membangunkan. Muwardi pun memilih menunggu Sukarni dan Jusuf Kunto untuk sama-sama menjemput paksa Bung Karno.

Sukarni seorang pemuda yang keras itu, sebelum ”mengancam” Bung Karno pada Kamis dini hari itu, sebelumnya ia juga sudah bertindak ”keras” saat penjemputan di rumah Bung Hatta. Dengan menggunakan mobil pinjaman dari D. Asmoro, kisah penjemputan Bung Hatta oleh Sukarni, Chaerul Saleh, dan Jusuf Kunto ditulis oleh Adam Malik berikut :

” Ketika tiba di rumah Bung Hatta, Sukarni menyuruh penjaga untuk membangunkan Bung Hatta. Setelah Bung Hatta bangun, karena kaget, bertanya kepada Sukarni, ”Apa maksudnya?”
Sukarni menjawab, ” Bung lekas-lekas bersiap, karena keadaan sudah memuncak genting, rakyat sudah tidak sabar menunggu lagi. Belanda dan Jepang sudah bersiap-siap pula untuk menghadapi segala kemungkinan. Pemuda dan rakyat tidak berani menanggung akibat-akibat apa yang akan kejadian jika saudara masih tinggal di dalam kota.”
Bung Hatta yang mendengarkan keadaan memuncak dan kejadian-kejadian yang mungkin membahayakan jiwa itu, barulah ia bersiap-siap, walaupun dengan hati dan perasaan yang agak mendongkol....”

Soekarno dan Fatma yang telah dibawa keluar para pemuda kemudian masuk ke dalam mobil yang didalamnya sudah ada Bung Hatta. Mereka kemudian duduk di belakang berempat. Sedangkan Sukarni duduk di depan di samping pengemudi, Winoyo Danuasmoro. Mereka dibawa sekelompok pemuda dan anggota tentara PETA di bawah pimpinan ukarni dan Shodanco Singgih. Ada yang mengatakan bahwa karena ikut sertanya unsur PETA maka Soekarno dan Hatta berhasil dibujuk dan bersedia dibawa keluar kota.

Sekitar pukul 05.00 pagi, rombongan berhenti di suatu tempat untuk cuci muka. Saat di perhentian itu Fatma menyusukan bayinya, di situ ia baru tersadar jika susu kaleng persediaan tertinggal di Jakarta. Karena itulah mereka pindah mobil dan mobil Fiat yang mereka tumpangi kembali untuk mengambil susu bubuk yang tertinggal di Pegangsaan. Jam 06.00 pagi, rombongan sudah berada di Rengasdengklok. Mereka mampir di rumah camat Rengasdengklok, S. Hadipranoto, untuk mengatakan agar kedatangan mereka dirahasiakan. Kemudian rombongan pindah ke sebuah pondok dengan melewati sawah. Setelah istirahat sejenak, mereka lalu pindah ke sebuah surau. Perjalanan belum usai, mereka kemnudian pindah asrama PETA dengan menyebrangi sungai. Hari itu juga di asrama PETA Rengasdengklok diselenggarakan upacara penurunan bendera Hinomaru, diganti dengan bendera Merah Putih.

Di Asrama PETA itu mereka diterima oleh Shodanco Umar Bahsan. Di situlah pada mulanya Soekarno dan Hatta akan ”ditahan”. Namun, karena kondisi asrama PETA ini terlalu sempit dan kurang baik, maka dicarilah tempat lain. Penduduk setempat menyarankan agar di bawa ke rumah Kie Siong di tepi Sungai Citarium itu, tidak berapa jauh dari Asrama PETA. Rumah itu hampir tak terlihat dari jalan, tersembunyi di bawah pohon-pohon rindang dan tanaman lainnya. Rombongan dibawa ke sana dengan berjalan kaki. Saat itu Soekarno hanya berpakaian piyama dan berpeci, didampingi Hatta yang juga berpiyama diiringi Fatmawati yang menggendong Guntur, memasuki halaman rumah, dikawal oleh para pemuda PETA. Fatma mengenang suasana rumah yang akan mereka singgahi itu, “Kotoran Babi piaraannya memenuhi halamannya.” Perjalanan mereka berakhir di sebuah rumah seorang turunan Tionghoa itu.

Tidak lama kemudian, seisi rumah disuruh keluar Ki Him (anak ketiga Djiauw Kie Siong), karena dia harus memberi makan ternak piaran keluarga Djiauw. Bahkan untuk memasak, dilakukan sendiri oleh para pemuda anggota PETA. Namun, keluarga Djiauw menyediakan beras dan merelakan ayam-ayam dan itik-itik di kandang di halaman mereka untuk dipotong dan dimasak. Siangnya, Fatma diberi nasi dan sop dari Markas PETA. Bumbu mericanya ternyata sangat pedas, hingga membuat Guntur terengah-engah dan menangis setelah minum ASI ibunya. Setelah itu mereka istirahat, Soekarno tidur di kamar dalam sementara Fatma dan Guntur di balai-balai dapur.

Sore harinya ketika Fatma memandikan Guntur, di ruang dalam tampak sedang berlangsung perundingan yang serius antara Soekarno, Hatta, Sukarni dan beberapa orang yang lain. Tampaknya Sukarni dan para pemuda dalam perundingan itu tetap mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Sukarni kembali mengancam bahwa apabila kemerdekaan Indonesia tidak segera diproklamirkan maka para pemuda akan melakukan pemberontakan. Adam Malik yang dalam bukunya menceritakan detail peristiwa di Rengasdengklok itu, kemudian mengesahkan tentang perundingan yang dipimpin Sukarni itu:

”Sukarni memulai pembicaraan. Ia menerangkan : maksud membawa saudara-saudara berdua selekas-lekasnya menyatakan Proklamasi Kemerdekaan atas nama seluruh rakyat, karena keadaan (saat) sudah mendesak dan suasana sudah sangat memuncak. Jika tidak dilaksanakan proklamasi selekas-lekasnya, maka pemberontakan yang hebat, pemberontakan melawan tiap-tiap penghalang kemerdekaan (ketika itu Jepang dan kaki tangannya) tentu akan berlaku. Maka oleh karena itu atas segenap rakyat, buruh, tani, dan tentara supaya saudara-saudara turut melakukan proklamasi itu. Jika tidak, maka segala akibatnya, terutama yang mengenai keselamatan diri saudara berdua, tidak akan dapat ditanggung lagi oleh rakyat.”



Mengenai reaksi Soekarno sendiri atas desakan dari Sukarni itu luput dari perhatian Soekarno di dalam otobiografinya. Tetapi menurut Adam Malik dalam bukunya, Soekarno dan Hatta menolak tuntutan pemuda yang diwakili Sukarni tersebut. Penuh keraguan dan tidak memberikan jawaban yang pasti. ”Berulang-ulang Soekarno dan Hatta hanya menanyakan, ’Apakah benar-benar Jepang sudah menyerah?’.” Karena sikap Soekarno dan Hatta tersebut kemudian Sukarni mengutus Jusuf Kunto untuk merundingkan keadaan di Rengasdengklok dengan kelompok pemuda yang ada di Jakarta. Sementara Soekarno mendesak kepada Sukarni agar mereka segera kembali ke Jakarta. Hatta kemudian sering menyebutnya peristiwa di Rengasdengklok ini sebagai ”tamasya”, ia berkali-kali menyesalkan usaha pemuda pada dini hari itu yang justru mengulur persiapan proklamasi.



Muhammad Roem, pelaku sejarah dan mantan Menteri Negara dalam Kabinet Hatta mengungkapan meskipun Rengasdengklok tidak memiliki keputusan yang dihasilkan, namun menurutnya peristiwa itu memiliki arti dalam menentukan perjalanan sejarah proklamasi selanjutnya, mohammad Roem berkomentar mengenai arti dari peristiwa itu demikian:

” Kita berterima kasih kepada sejarah, bahwa Seokarno-Hatta tidak tunduk kepada tuntutan pemuda, meskipun etikadnya kedua pihak sama, yaitu kemerdekaan tanah air. Bung Karno-Hatta tidak hilang kewibawaannya terhadap pemuda. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta moril Soekarno-Hatta naik kembali...... Tapi apakah penculikan itu tidak mempunyai arti sama sekali? Menurut penulis banyak sekali artinya, meskipun tidak seperti dimaksusdkan oleh pemuda. Bagi pemimpin-pemimpin seperti Soekarno dan Hatta, penculikan itu di samping merupakan pengalaman yang pahit bagi pribadi, menggambarkan satu keadaan yang sungguh-sungguh panas. Dalam percakapan dengan Soomubucho Jenderal Mayor Nishimura keadaan itu bagi Soekarno-Hatta menjadi alasan yang kuat, kalau tidak yang terkuat untuk bertindak. Dapat dibayangkan bahwa tanpa penculikan sikap Soekarno-Hatta tidak akan setegas itu. Malah terang-terangan Soekarno (dalam laporan Nakatani) mengatakan bahwa pernyataan kemerdekaan harus selesai waktu tengah hari tanggal 17, sesuai dengan tuntutan pemuda, ”yang dengan syarat itu membolehkan kami kembali ke Jakarta dari tempat tahanan.”

Dijemput Suabrdjo
Menghilangnya Soekarno dan Hatta membuat cemas dan orang-orang yang berada di dekatnya, khusunya para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang sebelumnya telah terjadwal akan menyelenggarakan rapat pada tanggal 16 Agustus 1945 itu. Bahkan pada siang harinya di Jakarta tersiar kabar bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan di luar kota. Achmad Subardjo adalah salah seorang sahabat Soekarno dan tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan yang cemas dengan kabar menghilangnya Soekarno dan Hatta pada kamis dini hari itu. Mendengar berita bahwa proklamasi akan dilangsungkan di luar kota, seorang Jepang yang simpati atas perjuangan bangsa Indonesia-Laksamana Maeda-memberi Pertimbangan lebih baik proklamasi itu dilakukan di Jakarta saja. Untuk mewujudkan usulnya itu ia memberikan pinjam rumah-nya dengan keamanan yang terjamin untuk kepentingan persiapan proklamasi.

Laksamana Maeda terseret turut campur tangan dalam peristiwa Rengasdengklok dan mengetahui menghilangnya Bung Karno dan Bung Hatta setelah mendapat aduan dan laporan dari Achmad Subardjo. Awalnya hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta karena diculik oleh Angkatan Darat Jepang, maka dalam pikirannya jika hal itu benar jalan satu-satunya untuk membebaskan mereka adalah dengan minta tolong kepada Kaigun, Angkatan Laut Jepang. Kedua korps ini dalam Angkatan Bersenjata Jepang memang dikenal sering berkompetensi dan memiliki pandangan yang berbeda terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Achmad Subardjo yang juga berkerja di kantor Angkatan Laut Jepang kemudian menyuruh sekretarisnya Sudiro untuk menghubungi Markas Besar Angkatan Laut. Saat itu yang menerima telepon Sudiro adalah Nishijima, penerjemah bahasa Maeda. Mengetahui yang menerima Nishijima, Subardjo lalu meminta telepon dari Sudiro dan ia bicara sendiri kepada Nishijima, “ Saya harus memberitahukan kepada Tuan, bahwa Tuan Soekarno dan Tuan Hatta telah hilang. Mereka mungkin ditahan oleh pihak Angkatan Darat. Apakah kiranya Tuan dapat menggerakkan penguasa-penguasa Angkatan Laut untuk campur tangan dalam perkara ini?”

Setelah menelepon Nishijima, Achmad Soebardjo lalu menemui Maeda di rumahnya untuk menyampaikan maksud yang sama. Laksamana Maeda memiliki firasat yang tidak baik, karena tidak biasanya Subardjo datang sendiri ke Nassau Boulevard, rumah Maeda, tanpa disertai Soekarno maupun Hatta.

“Kami tiba di tempat tersebut dengan mobil dalam waktu lima menit. Kami diterima oleh sekretarisnya yang mengantar kami ke ruang belakang rumah dimana kami menemukan Laksamana Muda Maeda duduk kesepian sendiri dalam suasana yang agak murung. Walaupun agak kaget melihat saya rupanya ia senang. Sebelum saya mengucapkan sepatah kata kepadanya, Maeda mengatakan langsung kepada saya, “Mengapa Tuan datang sendiri saja dan tidak dengan Tuan-tuan Soekarno dan Hatta? Saya telah berjanji kepada Tuan-tuan sekalian kemarin untuk menyampaikan kepada Tuan-tuan berita tentang penyerahan kami.”
“Kami justru datang untuk memberitahukan kepada Tuan tentang hilangnya mereka dari kota. Saya benar-benar tidak mengetahui kemana mereka itu telah pergi dan saya sedang mulai menyelidiki tentang soal ini, “Saya jawab.”

Mendengar kabar yang disampaikan Subardjo tentang hilangnya Soekarno dan Hatta membuat Maeda terkejut dan terdiam sebentar. Ia kemudian berjanji kepada Subardjo akan mengerahkan kekuatan untuk membantu mencari Soekarno dan Hatta. Mendengar itu kemudian Subardjo pun mohon diri dan berusaha untuk memenuhi kelompok-kelompok pemuda mencari informasi keberadaan Soekrno dan Hatta. Setelah bertemu dengan Wikana akhirnya Subardjo tahu bahwa pemudalah yang telah membawa pergi Soekarno dan Hatta. Tetapi saat itu Wikana menolak memberitahukan lokasi keberadaan Soekarno dan Hatta dibawa pergi. Kepada Subardjo, Wikana hanya berkata.”Hal itu merupakan keputusan kami dalam pertemuan semalam, untuk keselamatan meraka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta.” Nishijima pun berusaha membujuk Wikana dengan tawaran akan dukungan Angkatan Laut dalam perkara proklamasi kemerdekaan, namun Wikana tetap menolak untuk membuka rahasia.

Jusuf Kunto yang diutus dari Rengasdengklok untuk berunding dengan kelompok pemuda di Jakarta, menurut Adam Malik hanya menemui kelompok Kaigun dan Subardjo tanpa menemui kelompok pemuda. Sebelum bertemu dengan Subardjo, Jusuf Kunto berunding terlebih dahulu di pekarangan belakang dengan kelompok pemuda yang berkumpul di kantor tempat Subardjo, Wikana dan Sudiro bekerja. Mereka membicarakan tentang kemungkinan kembalinya Soekarno dan Hatta ke Jakarta untuk mempercepat proklamasi. Dari Nishijima, mereka juga mengatakan bahwa Angkatan Laut telah setuju akan memberikan jaminan keselamatan bagi Soekarno dan Hatta.

Setelah Jusuf Kunto dan para pemuda telah cukup dalam berunding serta karena adanya pertimbangan tersebut pada akhirnya Pandu Kartawiguna, Wikana, dan Jusuf Kunto menemui Achmad Subardjo. Setelah berdialog seputar keberadaan Soekarno dan maksud pemuda melakukan tindakan tersebut, maka Pandu kemudian berkata kepada Achmad Suabrdjo. “Pak Bardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya dan saya yakin bahwa mereka akan melarang Pak Bardjo untuk menemui Soekarno dan Hatta tanpa ditemani seorang mereka kenal dari pihak mereka. Jusuf Kunto akan menemani Pak Bardjo.”

Begitulah kemudian setelah berhasil meyakinkan para pemuda Jakarta untuk membantu meyakinkan Soekarno dan Hatta menyelenggarakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sesegera mungkin, maka Achmad Subardjo diizinkan untuk menjemput dan membawa kembali Soekarno-Hatta ke Jakarta. Kemudian pada hari kamis 6 Agustus 1945 kira-kira pukul 16.00, Achmad Subardjo, Sudiro, dan Jusuf Kunto pergi menjemput Soekarno di Rengasdengklok.

“Kunto tetap diam, sepanjang jalan. Kendaraan meluncur dengan cepat, tetapi berhenti jika diperintahkan demikian. Dapat kami lihat bahwa Kunto berbicara dengan seorang yang berpakaian seragam tentara PETA, rupanya memberitahu tanda kode. Hal ini terjadi dua atau tiga kali. Setelah itu, mobil meluncur tanpa gangguan.
…..Sementara itu, mobil kami telah mendekati Kota Krawang. Setelah kami sampai di pinggiran kota, yang sangat mengherankan saya, kami tidak mengikuti jalan raya yang langsung ke Krawang ke jurusan Purwakarta dan Bandung. Kunto tiba-tiba memerintahkan pengemudi untuk mengambil jalan yang menuju Rengasdengklok dan lautan Jawa sebagai muaranya.
Malang menimpa kami, salah satu dari ban mobil kami pecah sewaktu kami telah berada di dekat dengan kota Rengasdengklok. Beberapa waktu lamanya diperlukan untuk menggantinya. Hari sudah mulai gelap karena matahari mulai terbenam. Mobil kembali berjalan dan perlahan….”

Kira-kira pukul 18.00 mereka tiba di rumah tempat Soekarno dan Hatta “ditahan”. Melihat Fatma dan Guntur di beranda depan rumah, Achmad Subardjo menyapa Fatma, “Lho kok di sini, Jeng? Mana Kang Raka (Soekarno)?” katanya. Fatma juga terkaget tiba-tiba sahabat suaminya itu muncul di depan rumah bersama beberapa orang. ”Ada di dalam” begitu jawab Fatma. Mereka kemudian diantaranya menemui Soekarno-Hatta yang berada di ruang tengah.

Di ruang itu Achmad Subardjo bertemu antara lain dengan Soekarno, Hatta, Sukarni, Shodanco Subeno, Sutarjo Kartohadikusumo yang tengah melakukan perundingan serius. Kedatangan Achmad Subardjo disambut baik oleh para tokoh itu. Hingga kemudian terjadi kesepakatan di antara mereka bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan selekas mungkin di Jakarta. Golongan tua meyakinkan besok pagi, hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan. Akhirnya Subardjo berhasil meyakinkan para pemuda lalu Bung Karno dan Bung Hatta dibawa kembali ke Jakarta, Subardjo langsung membawa mereka ke rumah Maeda. Karena tempat itu paling aman dari kemungkinan gerbekan oleh Rikugun atau Kempetai, polisi militer Jepang.

Sementara itu, Latief Hendraningrat dengan kompinya mengatur pengamanan. Bahkan pasukannya di Markas Daidan di Jalan Jaga Monyet telah membongkar gudang senjata dan meminjamkan seragam dan senjata untuk menyamar sebagi anggota PETA. Pada dini hari 17 Agustus 1945, Latief menempatkan pasukannya di sekitar rumah kediaman Bung Karno di jalan Pegangsaan Timur 56.

Kami Lebih Samurai dari Samurai
Kamis, 16 Agustus 1945, malam harinya jam 21.00 rombongan berangkat dengan tiga buah mobil kembali ke Jakarta. Di mobil pertama yang dikemudikan Danuasmoro duduk di depan Sukarni dan Achmad Subardjo. Di kursi belakang Fatmawati yang memangku Guntur duduk diapit oleh Soekarno dan Hatta. Di mobil kedua, mobil Skoda tua dipenuhi Jusuf Kunto, Sutarjo Kartohadikusumo, Sudiro dan seorang sopir. Sementara mobil ketiga ditumpangi para anggota tentara PETA. Mobil yang tua dan jalan-jalan yang penuh lubang memaksa iring-iringan itu melaju pelan menuju Jakarta.

Tidak lama kemudian rombongan pun telah masuk ke Jatinegara dan pada kira-kira pukul 22.00 rombongan tiba di rumah kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur no.56, Jakarta. Fatmawati dan Guntur masuk ke dalam rumah diiringi oleh Soekarno. Sementara rombongan yang lain masih menunggu di dalam mobil yang berhenti di depan rumah Soekarno itu. Mereka memutuskan Fatma dan Guntur agar tinggal dirumah untuk istirahat, sementara Soekarno dan tokoh yang lain sepakat untuk melanjutkan perundingan di suatu tempat. Beberapa menit kemudian setelah mengantar istri dan anaknya masuk ke dalam rumah, Soekarno pamit kepada Fatma untuk melanjutkan perundingan bersama tokoh-tokoh yang telah menunggunya. Fatma hanya berpesan agar suaminya itu selalu hati-hati, doa keselamatan pun terucap dari bibirnya. Kecupan Soekarno di kening Fatma mengakhiri pembicaraan mereka di malam itu.

Soekarno kemudian keluar dari rumah dan kembali ke mobil yang menunggunya di depan rumah. Kemudain rombongan meneruskan lagi perjalannya. Dari Pegangsaan Timur mobil membelok ke kiri, ke arah barat dan masuk ke Orange Boulevard. Di rumah Hatta yang terletak di Orange Boulevard atau Jalan Diponegoro 56, Hatta turun lalu masuk ke dalam rumah disusul Sukarni. Rupanya hanya sesuatu yang hendak diselesaikan oleh Hatta dan pembantunya, sedang kesempatan itu digunakan Sukarni untuk berganti pakaian. Tidak lama kemudian Hatta dan Sukarni pun masuk lagi ke dalam mobil dan rombongan pun meneruskan lagi perjalannya.

Semua anggota PPKI, sebagian dari luar kota sudah datang, langsung ditelepon untuk rapat pada pukul 24.00 di Hotel Des indes. Tetapi pihak hotel menolak, dan atas usul Achmad Subardjo rapat diadakan di rumah Laksamana Maeda yang memang sudah menjamin keselamatan para pemimpin bangsa Indonesia. Rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda yang terletak di Myakodori No. itu dianggap aman dari kemungkinan gangguan yang sewenang-wenang dari anggota Rikugun atau Angkatan Darat Jepang atau Kempetai yang hendak menggagalkan usaha bangsa Indonesia mengumumkan Prokalamsi Kemerdekaan mereka. Rumah Maeda sebagai Kepala Perwakilan Kaigun atau Angkatan Laut Jepang di Jakarta memiliki kekebalan-ekstraterritorial-dari gangguan sewenag-wenang anggota-anggota Rikugun Jepang.

Beberapa saat setelah sampai di rumah Maeda, Bung Karno, Hatta, Subardjo, dan Maeda berunding sebentar. Mereka membicarakan tentang penyerahan tanpa syarat pemerintah Jepang kepada sekutu serta tindakan apa yang harus dilakukan berkaitan dengan tuntutan pemuda tentang prolamasi kemerdekaan. Sementara itu Subardjo keluar karena mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan anggota PPKI. Ia sempat menyuruh sekretarisnya, Sudiro, untuk melepon semua anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia agar segera datang ke rumah Maeda untuk merundingkan suatu resolusi.

Sementara itu tidak lama kemudian Soekarno-Hatta menerima panggilan Mayor Jenderal Nishimura, Direktur Departemen Umum Pemerintah Militer Jepang, untuk mengadakan pertemuan di rumahnya. Mereka berdua berangkat menuju rumah Nishimura dengan disertai Maeda. Hatta merekam pertemuan yang panas dan alot dengan Nishimura dalam bukunya sebagai berikut :

“Pokok perundingan ialah, bahwa kami malam ini akan meneruskan rapat panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang paginya tidak dapat dilaksanakan karena kami diculik oleh pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok. Mayor Jenderal Nishimura menjawab : “bahwa sekarang sudah lain keadaannya. Kalau tadi pagi masih dapat dilangsungkan, mulai pukul 01.00 tadi siang, sejak kami tentara Jepang di Jawa menerima perintah dari atasan kami tidak boleh lagi mengubah statusquo. Pimpinan tentaara Jepang merasa sangat sedih, bahwa apa yang dijanjikan terhadap Indonesia merdeka tidak dapat kami tolong menyelenggarakan. Dari mulai hari tadi tentara Jepang, di Jawa tidak mempunyai kebebasan bergerak lagi. Ia semata-mata alat sekutu dan harus menurut segala perintah sekutu. “Kami peringatkan kepada dia bahwa pemerintah Tokyo sudah mengakui kemerdekaan Indonesia dengan perantara Marshal Terauci dan pelaksanaannya diserahkan kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang nanti pukul 12.00 tengah malam akan memulai rapatnya di rumah Amiral Maeda yang dipinjamkan kepada kami. Nishimura menjawab, “Apabila rapat itu berlangsung tadi pagi, akan kami bantu. Tetapi setelah tengah hari kami harus tunduk kepada perintah sekutu dan tiap-tiap perubahan statusquo tidak dibolehkan. Jadi sekarang rapat panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu terpaksa kami larang.” Kami kemukakan, “Sekarang seluruh rakyat Indonesia sudah tahu Jepang menyerah kepada sekutu dan mereka tidak lupa bahwa Jepang sudah menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Kalau Jepang tidak mampu lagi menepati janjinya rakyat Indonesia sendiri akan memerdekakan dirinya. Semangat rakyat yang bergelora sekarang akan diperhatikan oleh Sekutu kecuali Belanda. Sebab itu Jepang tidak perlu lagi menolong kami. Kami minta cuma jangan dihalang-halangi. Rakyat Indonesia dengan pemuda di muka, bersedia mati untuk melakasanakan cita-cita Indonesia merdeka.”

Jenderal Nishimura menjawab, “Bahwa ia mengerti dan dapat merasakan sendiri cita-cita rakyat Indonesia. Saya menagis dalam hati katanya. Tetapi apa boleh buat, katanya, kami alat, sebagai alat telah menerima perintah, bahwa kami harus menghalang-halangi setiap perubahan statusquo. Apa boleh buat juga gerakan rakyat Indonesia dengan pemuda. Kami bertanya, “Apakah tentara Jepang akan menembaki pemuda Indonesia sebagai bunga bangsa kalau mereka bergerak malaksanakan janji Jepang atas kemerdekaan Bangsa Indonesia yang Jepang sendiri tidak sanggup menepatinya?”

“Apa boleh buat, kata Nishimura, dengan hati yang luka kami terpaksa melakukannya. Tetapi katanya apabila kita sabar saja sementara ia percaya bahwa sekutu akan memerhatikan keinginan bangsa Indonesia. Betapa sakitnya terasa dalam jiwa kami bangsa Jepang terpaksa tunduk dan menjilat kepada sekutu untuk memperoleh nasib yang agak baik sesudah kami kalah. Mendengar itu naiklah darah saya dan berkata, “Apakah itu janji dan perbuatan samurai?” dapatkah samurai menjilat musuhnya yang menang untuk memperoleh nasib yang kurang jelek? Apakah samurai hanya hebat terhadap orang yang lemah di masa jayanya tetapi hilang semangatnya waktu kalah? Baiklah kami akan berjalan terus apa juga yang akan terjadi.

Mungkin kami menunjukan kepada Tuan, bagaimana jiwa samurai semestinya menghadapi suasana yang berubah.

Dalam buku Mohammad Roem terdapat materi yang berbeda kaitannya dengan pertemuan para pemimpin Bangsa Indonesia dengan Nishimura. Mohammad Roem menyalin laporan yang dibuat opsir Jepang yang menyertai dalam pertemuan itu. Laporan ini wujudnya berupa percakapan, di mana diterjemahkan dari dokumen aslinya oleh Nakatani Yoshio. Laporan dalam bentuk Tanya jawab antara Soekarno, Hatta dan Nishimura itu yang dimuat dalam Dokumen no. ICVRO 059326 di Rijksinstituut voor Oorlogs Documenratie, Amsterdam demikian :

“Soekarno : “Dengan krisis yang datangnya mendadak dalam situasi perang, rakyat Indonesia, khususnya barisan sukarela dan pemuda, menjadi sangat gelisah, dan sekarang menuntut kemerdekaan segera dengan bersedia mengabaikan segala prosedur dan formalitas. Situasinya sudah sedemikian rupa, sehingga kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, kejadian-kejadian yang tidak diharapkan pasti akan terjadi. Oleh karena itu, saya ingin mengadakan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan, sekarang juga, untuk menyiapkan kemerdekaan, melengkapkan prosedur secara singkat, dan meneruskan pekerjaan sampai proklamasi kemerdekaan pada tengah hari tanggal 17.

Itulah tuntutan pemuda kita, yang dengan syarat agar kami menjalankan hal ini, membolehkan kami kembali ke Jakarta dari tempat pengasingan.”

Nishimura : “Itulah mustahil, rencana Panitia Persiapan Kemerdekaan tidak dapat diubah sepihak, tanap izin Markas Besar Tentara Bagian Selatan dan Pemerintahan Pusat.”

Soekarno : “Kalau begitu bagaimana jika diadakan lebih dulu penyataan kemerdekaan besok (tanggal 17). Kemudian meneruskan kewajiban-kewajiban yang praktis dari Panitia sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan semula. Saya berpendapat, bahwa kita harus bertindak dengan menyesuaikan diri kepada keadaan yang sedang berubah dan jangan terikat oleh prosedur dan formalitas. Apakah Tuan tidak setuju?”

Nishimura : ”Karena kemerdekaan yang sesungguhnya baru terlaksana hanya sesudah Panitia menyampaikan keputusan terakhir kepada pemerintah di Tokyo dan sesudah menerima persetujuannya, tindakan yang tidak masuk akal, yaitu menyatakan kemerdekaan terlebih dahulu dan kemudian meneruskan pekerjaan Panitia, tidak dapat dilangsungkan.”

Soekarno : ”Kalau kita terlalu mementingkan prosedur dan formalitas Tuan benar. Tapi untuk menenangkan rakyat, terutama barisan sukarela dan pemuda, yang semangatnya sedang memuncak, maka rencana harus diperpendek. Kalau tidak, kita pemimpin tidak akan mampu menguasai mereka.”

Nishimura : ”Apakah tidak kewajiban Tuan-tuan pemimpin menyadarkan, menuntut dan memimpin pemuda yang panas dan masa yang tidak dapat penerangan yang benar. Meskipun begitu, kalau ada mereka yang ingin mengacau, kami tidak dapat berbuat apa-apa melainkan membiarkan. Meskipun begitu, kalau ada mereka yang ingin mengacau, kami tidak dapat berbuat apa-apa melainkan membiarkan. Meskipun tidak diinginkan, akan tetapi tentara tidak mempunyai pilihan lain, melainkan memberantas hal itu dengan kekerasan.

Hatta : ”Ya, akan tetapi soalnya bukan soal teori lagi. Soal ini adalah soal semangat, perasaan dan psikologi. Pemuda kami bersedia mati dalam kesadaran, bahwa mereka mempertahankan tanah airnya. Mereka mengira musuh sudah akan mendarat besok. Hal ini tidak dapat ditekan dengan teori saja. Kalau pemuda berontak, tentu tentara Jepang dapat memberantasnya.”

Beberapa pernyataan ada yang diulangi, tetapi dijawab sama saja, dan sesekali pembesar-pembesar Jepang minta waktu untuk bermusyawarah antara mereka sendiri termasuk Maeda. Akhirnya Bung karno menanyakan sekali lagi.

Soekarno : “Pendeknya apakah saya harus mengerti bahwa Tuan tidak mengizinkan hari sidang dimajukan?”

Nishimura : “ Ya begitu. Sudah beberapa kali Tuan menanyakan hal itu, dan jawabanya ialah yang tidak dapat dikerjakan, tidak dapat. Malah permintaan untuk mengadakan rapat Panitia untuk menyampaikan percakapan ini saja tidak diperkenankan. Akan tetapi jika Tuan mengadakan sidang sendiri di luar Panitia, saya tidak akan campur tangan.”

Menurut Hatta, dalam Memoir, Miyosi yang menyalin percakapan mereka dengan Nishimura. Jika dalam salinan terakhir pertemuan mereka dengan Nishimura ini ada perbedaan dengan yang diterangkan Hatta sebelumnya. Terutama ucapan Hatta yang penuh emosi, seperti kalimat “apakah itu janji dan perbuatan samurai?”,”Dapatkah samurai menjilat musuhnya…”. “Samurai hanya hebat terhadap orang lemah…”. Maka di Memoir ia mengatakan. “Melihat tuan Miyoshi gugup dan tertegun-tegun menyalin ucapanku aku duga ucapanku itu banyak ‘diperhalusnya’ untuk menghilangkan segi-segi yang tajam.

Hampir dua jam mereka bertemu dan berdebat, Nishimura menegaskan bahwa Indonesia dalam status quo, sehingga rapat PPKI tidak boleh diselenggarakan. Artinya Soekarno dan Hatta, sampai pada kesimpulan seperti yang diharapkan golongan muda, Indonesia harus merdeka tanpa Jepang. Dari situlah mereka memutuskan meninggalkan rumah Mayor Jendral Nishimura dan kemudian menuju ke rumah Maeda dengan satu visi, Indonesia segera merdeka tanpa melibatkan Jepang.

Merumuskan Teks Proklamasi
Berdasarkan hubungan baik antara Perwira Tinggi angkatan Laut Jepang itu dengan para pemimpin bangsa Indonesia, terutama Mr. Achmad Subardjo dan sikap serta pendirian pribadi Laksamana Muda Tadashi Maeda terhadap gerakan Kemerdekaan Indonesia, maka rumahnya direlakan menjadi tempat pertemuan para pemimpin bangsa Indonesia berunding dan merumuskan naskah atau Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Selain ketiga tokoh Ir. Soekarno, Drs. Hatta, dan Mr. Achmad Subardjo, tercatat 30 tokoh nasional lain yang hadir dalam perumusan teks proklamasi di rumah Maeda tersebut. Mereka adalah dr. Radjiman Widyodiningrat, Mas Sutarjo Kartohadikusumo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Abikusno Cokrosuyono, dr. Buntaran Martoatmojo, R. Otto Iskandardinata, Prof. Dr. Mr. Supomo, Ki Hajar Dewantara, Sukarjo Wiryopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, Dr. G.S.S.j. Ratulangi, KH. Wachid Hasyim, Mr. J. Latuharhay, Mr. I Gusti Ktut Puja, dr. Samsi, dr. Amir, Mr. Teuku Moh. Hasan, Mr. Abdul Abbas, Hamidhan, A.A. Rivai, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultang Deang Raja, Chaerul Saleh, Harsono Cokroaminoto, Sayuti Melik, Semaun Bakri, Sukarni, Sudiro (mbah), BM. Diah, dan Syarif Al Wahidin Nasution.

Saat perundingan berlangsung, Sukarni begitu melihat pembicaraan berlarut-larut, pada pukul 23.30 Sukarni keluar. Nishijima ikut, dan ternyata Sukarni mendatangi berbagai pos pemuda, antara lain Presiden 10 yang diterima Soejono Martosewojo. Kepada mereka, Sukarni menjelaskan, bahwa proklamasi akan diadakan esok hari dan para pemuda tak usah melakukan pemberontakan.

Malam itu, peristiwa bersejarah berlangsung, tanpa disaksikan Maeda sebagai tuan rumah yang mengundurkan diri dan tidur di lantai dua rumahnya. Dalam kesaksiannya, secara lebih jelas Hatta menuturkan rentetan Peristiwa pada malam bersejarah di rumah Laksamana Maeda itu dengan lengkap dalam bukunya sebagi berikut :

”Setelah duduk sebentar sambil menceritakan hal-hal yang diperdebatkan dengan Nishimura, Bung Karno dan saya mengundurkan diri ke sebuah ruang tamu kecil bersama dengan Subardjo, Sukarni dan Sayuti Melik. Kami duduk sekitar meja dengan maksud untuk membuat teks ringan tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pda tanggal 22 Juni 1945 yang sekarang disebut Piagam Jakarta. Bung Karno berkata, ”Saya persilahkan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu, sebab bahasanya saya anggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah”. Saya menjawab , ”Kalau saya mesti memikirkannya lebih baik Bung menuliskan saya mendiktekannya. Semua setuju kalau kalimat pertama ambil saja dari akhir alinea ketiga rencana pembukaan Undang-undang Dasar yang mengenai proklamasi. Lalu kalimat pertama itu menjadi, ”Kami bangsa Indonesia”. Tetapi saya katakan. ”Kalimat itu hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebab itu mesti ada komplemennya yang menyatakan bagaimana caranya menyelenggarakan revolusi nasional. Lalu saya diktekan kalimat yang berikut: ”Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Setelah bertukar pikiran sebentar teks ini disetujui oleh kami berlima yang menjadi panitia kecil. Menurut cerita dari lain fihak Sukarni tidak menyukai rumusan tersebut karena kurang revolusioner. Ia dikatakan mengusulkan rumusan seperti dibawah ini : ”bahwa dengan ini rakyat Indonesia meyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan pemerintah yang ada harus direbut oleh rakyat dari orang asing yang masih mempertahankannya.” Rumusan itu tidak diterima. Mungkin Sukarni mempunyai rumus semacam itu. Tetapi waktu panitia kecil bersidang, Sukarni tidak banyak bicara dan saya tidak ingat bahwa ia pernah mengemukakan rumusan itu. Waktu kami panitia lima bekerja, Admiral Maeda mengundurkan diri ke tingkat kedua, mungkin ke kamar tidurnya. Tuan Miyosi masih tinggal duduk tidak jauh dari kami. Ia mungkin mendengar segala yang kami persoalkan tetapi ia diam saja. Ia pun mengerti bahwa penyusunan teks proklamasi itu bukanlah hal yang harus dicampurinya. Setelah kerja kami selesai, kami masuk ke ruang tengah di mana yang bersangkutan sudah menunggu. Sidang itu bukanlah lagi sidang panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia semata-mata. Seperti diperingatkan tadi sudah bertambah dengan pemimpin-pemimpin pemuda serta pemimpin dan anggota Chuo Sangi In yang berada di Jakarta. Bung Karno memulai membuka sidang dan membacakan rumus pernyataan kemerdekaan yang dibuat tadi perlahan-lahan dan berulang-ulang. Sesudah itu ia bertanya kepada yang hadir, ”dapatkah ini saudara setuju?” gemuruh suara mengatakan setuju. Diulang oleh Bung Karno, benar-benar semuanya setuju? ”setuju”, kata yang hadir semuanya. Saya kira tidak ada yang tidak setuju. Sesudah itu saya bicara dan mengemukakan, ”Kalau saudara semua setuju, baiklah kita semua yang hadir di sini menandatangani naskah Prokalamasi Merdeka ini suatu dokumen yang bersejarah. Ini penting bagi anak cucu kita. Mereka harus tahu, siapa yang ikut memproklamasikan Indonesia Merdeka. Ambillah contoh kepada naskah Proklamasi Kemerdekaan Amerika Serikat dulu. Semua yang memutuskan ikut mendatangani keputusan mereka bersama.” Rapat sejenak diam dan tak terdengar suatu diskusi apapun tentang yang saya usulkan itu. Tidak lama sesudah itu, sukarni maju ke muka, menyatakan dengan suara yang lantang, ”Bukan kita semua yang hadir di sini harus menandatangani naskah itu. Cukuplah dua orang saja menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.” Ucapan itu disambut oleh seluruh yang hadir dengan tepuk tangan yang riuh dan muka yang berseri-seri. Saya merasa kecewa karena saya harapkan mereka serta menandatangani suatu dokumen yang bersejarah, yang mengandung nama mereka untuk kebanggaan anak cucu di kemudian hari. Tetapi apa yang akan dikata? Sebelum rapat ditutup, Bung Karno memperingatkan bahwa hari itu juga tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi proklamasi itu akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya di pegangasaan Timur 56, maka sidang yang bersejarah itu berakhiralah kira-kira pukul 3.00 pagi, tanggal 17 Agsutus 1945 Maeda meninggalkan kamar tidurnya dan turun ke bawah berserta pembantu-pembantunya seperti Nishijima dan beberapa orang lain. Mereka memberi selamat kepada kami atas hasil yang dicapai.”

Kolonel Miyoshi sebagaimana disebut Hatta di atas adalah perwira penghubung di Kantor Badan Penasehat tempat Hatta berkerja. Ia adalah penghubung kantor Hatta dengan Markas Besar Pemerintahan Militer Jepang. Miyoshi fasih berbahasa Belanda dan Indonesia, ia pula yang menjadi penerjemah ketika penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang 8 Maret 1942 di Bandung. Saat itu Miyoshi bertugas sebagai penasihat politik GunseikanbuI, Pemerintah Militer Jepang. Menurut perkiraan Subardjo, kedatangan Miyoshi di rumah Maeda sebagai perwira Angakatan Darat dimungkinkan sebagai siasat diplomatik dari Laksmana Maeda untuk memberi kesan bahwa Angkatan Darat diberitahukan tentang apa yang terjadi di rumahnya.

Soekarno menuliskan konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan RI di atas secarik kertas. Sebelumnya Bung Karno meminta kertas dan munculah kertas bergaris biru. Tulisan ini juga memakai pensil. Konsep teks proklamasi yang bersejarah itu haya ditulis di atas kertas dengan alat tulis seadanya. Soekarno mengenang dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams demikian :

”Tidaklah pernyataan ini dituliskan di atas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku merobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamsi sepanjang garis-garis biru itu.
Pun tidak kami melakukannya menurut tradisi dengan memakai pena-bulu yang dicelupkan. Siapakah yang sempat memikirkan soal itu? Kami bahkan tidak menyimpan pena bersejerah yang menggoreskan kata-kata yang akan hidup untuk selama-lamanya. Aku tahu bahwa presiden-presiden Amerika Serikat membagi-bagikan pena-pena yang digunakannya untuk menandatangani undang-undang penting, akan tetapi aku, yang dihadapkan pada detik besar bersejarah, bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai. Kukira aku meminjamnya dari seseorang.”

Dalam perumusan naskah teks proklamasi itu, Hatta dan Achmad Subardjo masing-masing mengaku menyumbangkan secara lisan. Kalimat pertama berbunyi ”Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia” berasal dari Subardjo. Kalimat terakhir mengenai ”pemindahan kekuasaan” berasal dari Hatta. Hal itu juga masih belum sepenuhnya jelas. Siapa yang membantu Soekarno dalam penulisan kalimat pernyataan menjadi terkesan simpang siur. Hatta dalam Memoir dan Sekitar Proklamasi 17 Agsutus 1945 menulis bahwa ia yang mendikte Bung Karno. Achmad Subardjo dalam bukunya juga mengaku demikian. Selain menulis tentang sekitar peristiwa pada 16-17 Agustus malam di rumah Maeda, Hatta juga menulis pengakuannya mengenai usulnya dalam perumusan teks proklamasi yang berasal dari dirinya :

”Soekarno berkata, ”Aku persilahkan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu, sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah.” Aku menjawab, ”Apabila aku memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya.” Semuanya setuju kalau kalimat pertama diambil dari akhir alinea ketiga rencana Pembukaan UUD yang mengenai Proklamasi. Lalu kalimat pertama itu menjadi, ”Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.” Tetapi aku mengatakan, kalimat itu hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sebab itu mesti ada komplemennya yang menyatakan bagaimana cara menyelenggakan Revolusi Nasional. Revolusi Nasional. Lalu aku mendiktekan kalimat berikut, ”Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Setelah bertukar pikiran sebentar, teks itu disetujui oleh kami berlima yang menjadi panitia kecil.”

Sementara, Achmad Subardjo juga mengaku bahwa dirinya yang mendiktekankonsepnya kepada Bung Karno :

”Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menulis sesuai dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut :
”Kami, Rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami.” kalimat pendek dan sederhana ini adalah inti dari seluruh teks mengenai pernyataan prinsip-prinsip dasar dalam Bab-Pembukaan........Setelah menulis kalimat tersebut, Soekarno yang duduk di hadapan saya membacakanya dengan suara keras, atas mana Hatta menyatakan pendapatnya : ”Ini tidak cukup dan merupakan suatu pernyataan abstrak tanpa isi. Kita harus menghantar kemerdekaan kita pada pelaksanaan yang nyata dan kita tidak mungkin dapat bebuat demikian tanpa kekuasaan yang nyata dan kita tidak mungkin dapat berbuat demikian tanpa kekuasaan berada di tangan kita. Kita harus menambahkan pikiran tentang penyerahan kekuasaan dari Jepang ke dalam tangan kita sendiri.”
Timbulah kemudian beberapa hal pertimbangan mengenai rumusan yang tepat tentang ide penyerahan kekeuasaan tersebut, dan akhirnya Soekarno menuliskan rumusan yang berbunyi sebagai berikut :
”Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Sementara perbedaan antara Hatta dan Subardjo itu dapat dijemabatani dari kesaksian Sayuti Melik. Menurutnya saat membuat konsep teks proklamasi itu yang ada di ruangan tengah hanya Bung Karno, Bung Hatta, Achmad Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik. Di dalam ruangan itu Sukarni dan Sayuti Melik hanya diam memerhatikan ketiga tokoh bertukar pendapat dalam merumuskan naskah. Sedangkan para pemuda dan hadirin lain, berada agak jauh di ruang depan. Sayuti Melik mengungkapkan kesaksiannya sebagai berikut :
”Di dalam penyusunan konsep itu boleh dikatakan yang membuat hanya tiga orang yakni Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo. Sedangkan yang duduk di meja perundingan ada lima orang, jadi tiga orang tadi ditambah Sukarni dan saya. Di sini kami berdua hanya menganggukkan kepala saja jika ditanya. Sedangkan peserta rapat lain duduk terpisah agak jauh. Dalam proses penyusunan naskah itu yang banyak berbicara adalah Bung Hatta dan Mr. Subardjo, sedangkan Bung Karno yang menulisnya. Coretan-coretan tangan oleh Bung Karno pada konsep naskah yang ditulisnya itu juga hasil perundingan khususnya mereka bertiga.



Setelah selesai membuat konsep dan disetujui oleh para perumusannya itu, Bung Karno kemudian meminta kepada Sayuti Melik mengetik konsep tersebut sebelum disetujui para hadirin yang malam itu berkumpul di rumah Maeda. Beberapa coretan akibat dari pertukaran pendapat harus dirapikan agar tidak kabar pengertiannya ketika dibacakan di depan para hadirin rapat yang sudah menunggu di ruangan depan. Tetapi saat konsep itu akan diketik, mesin ketik tidak ada di rumah Maeda. Adalah Ny. Satsuki Mishima, pembantu rumah dan satu-satunya wanita malam itu, diminta meminjam mesin tik di kantor Militer Jepang. Wanita itu pula yang membuatkan nasi goreng untuk sahur Soekarno, Hatta, dan Achmad Subardjo.

Ketika Sayuti Melik mengetik, BM Diah berada dibelakangnya. Ada tiga perubahan yang dilakukan pada naskah terakhir. Pertama kata ”tempoh” menjadi ”tempo”; kedua, kalimat ”wakil-wakil bangsa Indonesia” pada bagian akhir diganti menjadi ”atas nama bangsa Indonesia”; ketiga, cara menulis ”Djakarta, 17-6-05” menjadi Djakrta, hari 17 boelan 8 tahoen '05”. Angka tahun p05 adalah singkatan angka tahun 2605 tarikh Sumera yang sama dengan 1945 Masehi.

Naskah yang disusun di ruang tengah, kemudian dibawa ke luar-dimana sejumlah tokoh tua maupun muda menunggu. Waktu itu sudah dini hari, dan mereka setuju dengan naskah proklamasi itu. Pada waktu itu Bung Karno dan Bung Hatta mengusulkan agar teks proklamasi itu ditandatangani oleh wakil-wakil bangsa Indonesia yang terdiri dari semua anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan RI (PPPKI). Rupanya mereka diilhami oleh Declaration of Independence, tapi usul ini ditolak oleh Chaerul Saleh, karena ia tidak percaya kepada semua yang hadir yang dinilainya ada kaki tangan Jepang, tetapi Sukarni mengusulkan dua nama saja, sebab Soekarno dan Hatta sudah dikenal sebagai pemimpin bangsa. Akhirmya disepakati yang menandatangani teks proklamasi adalah Bung karno dan Bung Hatta.


Teks Proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik dan disepakati oleh para hadirin rapat pada dini hari di rumah Maeda itu lengkapnya berbunyi :



Saat itu setelah selesai diketik, konsep teks proklamasi ditinggal di atas meja oleh Sayuti Melik, dan BM Diah yang tidak jauh berada dari tempat itu lalu mengambilnya. Kemudian di belakang teks tersebut diberi catatan tulisan BM Diah, ”Berita istimewa, berita istimewa. Pada hari ini, tanggal 17 bulan 8, 1945 di Djakarta telah dioemoemkan proklamasi kemerdekaan Indonesia jang boejinya : Proklamasi, Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan, kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dllnja, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnya. Djakarta, 17-8-1945”.

Kemudian BM Diah beserta para pemuda yang berkumpul di situ diperintahkan Bung Hatta untuk mencetak teks proklamasi itu di percetakan Siliwangi untuk kemudian disebarluaskan ke sejauh mungkin penjuru Nusantara yang bisa dicapai. Sebelumnya salinan naskah proklamasi sudah diedarkan termasuk kepada pemuda Indonesia yang berkerja di kantor berita Antara dan Radio Domei untuk diusahakan segera diberitakan.

Konsep naskah otentik proklamasi itu sempat ”menghilang” dan terlupakan selama kurang lebih 20 tahun. Dan baru muncul pada tahun 1965 setelah BM. Diah menyerahkan pada pemerintah Soeharto atas gagasan dan permintaan Tjokropranolo. Selama naskah otentik itu hilang, maka yang dikenal seluas-luasnya adalah naskah konsep atau ”klad” yang menurut Sayuti Melik pada dini hari tanggal 17 Agustus 1945 itu diambil dan dibawa pulang dari rumah Laksamana Maeda oleh BM Diah yang kemudian menyimpannya. BM. Diah mengatakan, ketika mengambil kertas itu ia tidak melihat konsep teks proklamasi itu sebagai dokumen sejarah, tapi sebagai dokumen yang harus disiarkan karena ia adalah wartawan. Dengan demikian, ia ingin memperlihatkan kepada masyarakat agar mereka mengetahui proklamasi dilakukan dalam keadaan yang sulit tetapi tetap dilakukan dengan sebaik-baiknya.



Demikianlah naskah Proklamasi selesai dirumuskan oleh Soekarno dan Hatta pada Jumat dini hari 17 Agsutus 1945 di rumah Laksamana Muda Maeda. Tetapi tampaknya permasalahan belum selesai, timbulah persoalan bagaimana mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang telah dirumuskan dan disepakati itu. Ada yang mengusulkan agar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan di lapangan Ikada dan dihadiri oleh sebanyak mungkin rakyat Indonesia. Akan tetapi Soekarno yang hendak menghindari hal-hal yang tidak diinginkan meminta dan memutuskan agar upacara pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diselenggarakan di rumah kediamannya di Jalan Pegangasaan Timur No. 56 Jakarta. Halaman rumah kediaman Soekarno cukup luas, usulan Soekarno pun akhirnya distujui para tokoh yang hadir pada malam itu.

Mereka pun kemudian memutuskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi, bertempat di kediaman Soekarno di Jalan Pegangasaan Timur No. 56. setelah perundingan mencapai kata mufakat di antara golongan tua maupun muda, maka kemudian beberapa tokoh memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, termasuk Soekarno, Hatta, dan para tokoh lain.

Nishijima dan Hari Menjelang Proklamasi

Detik-detik proklamasi adalah sat-saat sangat genting dan penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Ternyata masih banyak bahan yang belum dipublikasikan secara rinci hingga gambaran dan urutan peristiwa dapat disimak dengan lebih seksama. Salah satu dokumen seputar detik-detik proklamasi dan masa sebelum dan sesudahnya, adalah ditemukan di Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie (Lembaga Kerajaan untuk Dokumentasi Perang) di Amsterdam Belanda dengan kode Doc.6076-6089. Isi dokumen itu adalah kesaksian Nishjima Shigetada, juru bahasa Laksamana Tadeshi Maeda. Dirumah Maeda itu dilakukan perundingan menyusun naskah proklamasi oleh bapak-bapak para pendiri negara.

Nishijima Shigetada lahir di Gunma-Ken Usuigan Annakamachi Omata 237, pada 4 Juni 1911. pendidikannya pada tahun 1919 di Sekolah Dasar di Takasak, 1924 di Sekolah menengah di Takasak, 1929 di Sekolah Menengah Atas di Tokyo. Sebelum bekerja bersama Maeda ia pernah bekerja di Nanto Suisan Co. di Oshima sebagai karyawan pabrik es, “Cold Storage” dan perikanan, dan karyawan Toko Tjioda.

Nishijima Shigetada tiba di Batavia bulan Agustus 1937. pada tahun 1938 dipindah ke Toko Tjioda, Bandung. Ketika pecah perang, ditahan pemerintah Hindia Belanda, dan dipindahkan ke Australia. Kemudian pada bulan Oktober 1942 dengan pertukaran para tawanan melalui Singapura, ia tiba kembali di Hindia Belanda. Dari Bulan November 1942 hingga tanggal 1 Agustus 1945, Nishijima dipecat sebagai militer tetapi tetap bekerja di Bukanfu sebagai pegawai sipil hingga sekitar akhir September 1945 hingga akhir Desember 1945, kemudian bergabung dengan Maeda bekerja pada Biro Kontak Maritim Jepang Gang Cholan, Batavia. Bagian dimana ia bekerja di Chosabu Economical and Political Research Centre pusat penyelidikan ekonomi dan politik. Wakil kepala bagian itu adalah Kobayashi Ryosei. Kepala bagian itu adalah Laksamana Maeda. Pekerjaan itu terdiri dari studi mendalam tentang hubungan-hubungan ekonomi dan politik

Dalam kesaksian Nishijima Sihigetada itu pada hari-hari menjelang proklamasi, sebelumnya pada tanggal 15 Agustus 1945 sekitar pukul 3 atau 4 siang Soekarno, Hatta, dan Sobardjo datang kekantor Bukanfu untuk berunding dengan Maeda dan Nishijima Shigetada dipanggil untuk menjadi juru bahasa. Soekarno waktu itu berkata kepada Maeda, “Kami telah mendengar bahwa jepang telah menyerah, dan hari ini kami telah mengunjungi beberapa penguasa militer, tetapi tak ada yang menemuai kami. Jadi kami datang mengunjungi anda untuk menanyakan apakah berita itu benar.” Maeda menjawab, “Kami tak dapat percaya bahwa Jepang menyerah dan kami sendiri belum menerima berita apa pun mengenai hal itu. Jadi kami tidak dapat mengatakan dengan pasti apakah saat ini ada banyak demagog dan desas-desus, tetapi itu tidak kami percaya.

Hari berikutnya tanggal 16 Agustus 1945 pagi hari sekitar pukul 11.00 Nishijima Shigetada mendengar dari Subardjo memperkirakan, hilangnya Soekarno dan Hatta terjadi atas perintah para penguasa militer Jepang sebagai usaha jaga-jaga.

Oleh Nishijima Shigetada hal itu langsung diberitahukan kepada Maeda. Kemudian Maeda pergi ke Gunseikanbu untuk menanyakan kebenaran berita tersebut. Ketika ia kembali ia berkata, “Gunseikanbu tak tahu menahu soal itu”. Dan Maeda bertanya kepada Nishijima Shigetada, “Soekarno dan Hatta ada dimana?”, dengan permintaan supaya secepatnya memberi berita. Sebab ia berpendapat, hilangnya kedua tokoh itu akan menyebabkan keresahan besar diantara orang-orang Indonesia.

Waktu itu Nishijima Shigetada kemudian bertanya kepada Subardjo, tentang keberadaan Soekarno dan Hatta. Tetapi Soebardjo juga tidak tahu. Sebelumnya ia telah meminta kepada Nishijima Shigetada supaya berusaha mencari tahu pada militer Jepang apakah Soekarno dan Hatta ditawan oleh mereka, sebab Soebardjo mengira hal itu dilaksanakan oleh para militer. Ia sangat gelisah. Sebab ia takut kalau-kalau ia sendiri juga akan ditawan. Tetapi ketakutan ini ternyata tak beralasan sebab hilangnya Soekarno-Hatta itu tidak terjadi atas perintah militer.

Nishijima Shigetada kemudian mengunjungi Soenoto nama lain dari Wikana yang bekerja dikantor bagian Kaigun (Angkatan Laut Jepang) tempat dimana Subardjo bekerja. Soenoto adalah mantan anggota PNI dan dahulu beberapa kali ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Ia adalah salah seorang tokoh terkenal pergerakan pemuda, yang secara umum dapat dipandang sebagai revolusioner nasionalistis dan sebab demikian itu mempunyai kedekatan-kedekatan terhadap orang-orang Jepang. Ketika itu Nishijima Shigetada mengunjungi Soenoto dirumahnya. Di situ Nishijima Shigetada menanyakan kepadanya apakah ia tahu dimana Soekarno-Hatta berada.

Mula- mula ia menjawab, ia tidak tahu. Ia sangat gugup dan gelisah. Ketika Nishijima Shigetada terus mendesak untuk mengatakan tempat persembunyian itu, ia berkata, “gerakan kemerdekaan harus diperjuangkan dan bukan sebagai upah yang harus diterima dari orang lain. Untuk itu harus dipergunakan kekerasan. (46 Nishijima Sihigetada, Loc.Cit.) Nishijima Shigetada ketika itu dijaga oleh para opsir yang berkata kepadanya bahwa ia tak boleh keluar mobil dan juga tidak boleh pergi bermobil. Ini berlangsung cukup lama hingga akhirnya Sukarni kembali. Sementara itu Nishijima Shigetada melihat sebuah truk jalan pelan-pelan keluar masuk yang mengangkut beberapa pemuda PETA.

Ketika Sukarni kembali, ia berkata bahwa ia telah berhasil mencegah pemberontakan. Namun telah ada beberapa orang yang keluar, sehingga masih ada beberapa tempat yang masih harus diberitahu. Ketika itu ia berkata kepada Nishijima Shigetada, “Mereka ini semuanya kepala batu, susah. “Kemudian mereka pergi ke Pasar Senen. Dan mobil berhenti di belakang Pasar Senen. Sukarni keluar masuk kedalam gang. Disitu hampir tak ada orang dijalan dan pemuda-pemuda juga sedikit.

Setelah kembali mereka mneruskan perjalanan melintasi rel kereta, dan setelah beberapa saat lagi berhenti lagi di sebuah gang, dan sukarni beberapa saat kembali lagi. Di situ ada beberapa kelompok pemuda yang tidak berseragam. Kemudian mereka melanjutkan bermobil untuk menuju ke kota. Tetapi di tengah jalan, Sukarni berubah gagasan dan mereka menuju ke stasiun pemancar radio di Koningsplein. Ketika mereka tiba di sana, stasiun pemancar radio ternyata telah dijaga tentara Jepang, dan mereka telah dicegat oleh tentara jaga dengan senapan berbayonet terhunus.
Ketika di Nishijima Shigetada lalu menjelaskan kepada perwira bahwa ia dari Angkatan Laut Jepang dan datang kesitu untuk mencegah jangan sampai ada pemberontakan. Oleh karena Nishijima Shigetada bersama-sama Sukarni, mereka tidak mau percaya. Mereka lalu masuk ke pekarangan dalam. Disitu Nishijima Shigetada menjelaskan kepada perwira Jepang supaya ia tidak menahan mereka karena mungkin akan ada suatu pemberontakan.

Sementara Nishijima Shigetada berbicara dengan perwira itu, Sukarni berjalan beberapa langkah mendekati tiga orang Indonesia yang ada disana dan kemungkinan besar para penjaga malam. Ia berteriak kepada meraka, “Ini hari tidak jadi, Bung”atau dalam ungkapan sejenis itu. Karena itu opsir Jepang itu menjadi sangat marah, dan mereka lebih sulit untuk dilepas. Mereka lalu berkata kepada perwira itu supaya menelpon Maeda.

Ketika mereka tiba disana, kira-kira pukul setengah satu atau setengah dua, Soekarno, Hatta, dan Subardjo sudah kembali namun terlihat mereka pergi bersama Maeda. Waktu itu Nishijima Shagetada kira mereka bersama Maeda pergi ke Jenderal Mayor Nishimura yang jadi Somobucho oleh karena sudah ada berita bahwa ialah penguasa yang sebenarnya yang harus mereka ajak bicra mengenai masa depan selanjutnya.


Dirumah Maeda, ketika mereka tiba, sudah hadir beberapa tokoh Indonesia terkemuka dari Jawa dan Madura. Jadi Nishijima Shigetada harus menunggu hingga Maeda kembali. Sekitar pukul 2 atau 3, Nishijima Shigetada tidak tahu lagi dengan tepat, sebab ia sangat gelisah setelah pengalamannya malam itu, maka Maeda kembali bersama Soekarno dan Hatta. Ia lalu melapor kepada Maeda, bahwa mereka telah berusaha sebaik-baiknya untuk mencegah pemberotakan. Maeda tampak sangat gembira dan berterima kasih kepada Nishijima. Sesudah itu datanglah tokoh-tokoh orang Indonesia lain, demikian pula Miyoshi Shunkichiro-Administratur Militer urusan Indonesia., ia juga seorang juru bahasa Indonesia dan Belanda serta yang dulu bekerja di Konsulat di Batavia.

Setelah Nishijima Shigetada melapor kepada Maeda, maka ia bercerita kepadanya bahwa kunjungannya bersama Soekarno dan Hatta pada Jenderal Mayor Nishimura, Somobucho dari Gunseikanbu berjalan tidak begitu lancar, tetapi tetap menghasilkan sesuatu yang dapat memuaskan orang-orang Indonesia. Hasilnya ialah, pembukaan sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimajukan sehari menjadi tanggal 18 Agustus 1945 oleh karena Soekarno dan Hatta mendesak supaya dengan dipercepatnya tanggal itu situasi berbahaya itu bisa diselamatkan.

apakah ada hal-hal lain lagi yang dibicarkan dengan Nishimura, Nishijima Shigetada mengetahui, sebab Maeda tak bercerita apapun mengenai hal itu. Namun Maeda berkata kepada Nishijima Shigetada bahwa Soekarno telah meminta kepada Maeda apakah mereka, sehubungan dengan mendesaknya persoalan, boleh mempergunakan rumah Maeda, untuk membicarakannya kepada para pemimpin Indonesia bagaimana bisa menerobos saat gawat itu. Maeda juga masih berkata, sehubungan dengan kenyataan bahwa hal itu secara resmi hanyalah persoalan Gunseikanbu, maka ia telah meminta kepada Miyoshi untuk hadir disitu, oleh karena ia sendiri bukannya instansi yang berwenang, dan hanya memberikan perantaraan untuk menghindari kesulitan. Maeda waktu itu lalu pergi tidur.

Nishijima Shigetada sendiri ketika itu sangat letih. Didapur kemudian ia minum bir. Lalu Nishijima Shigetada langsung naik keatas untuk istirahat. Nishijima Shigetada tertidur dan baru terbangun sekitar pukul 6 pagi. Ia turun kebawah. Waktu itu tidak ada orang Indonesia lagi. Miyoshi juga tidak ada. Nishijima lalu mengendarai mobil Maeda kerumahnya ke Kebon Sirih 60. dan sesampainya dirumah langsung tidur lagi sampai sekitar pukul 10 atau 11.00.

Maeda-Kaigun dan Dewa Penolong

Mengutip sejarawan Belanda Dr. de Graff, mengenai Maeda, Mohammad Roem menuliskan dalam bukunya, “Satu-satunya pelaku, yang bertindak berani di tepi kehancuran, ialah Maeda, yang dengan mendirikan Republik Indonesia pada saat yang terakhir masih berusaha untuk berjasa bagi tanah airnya yang sudah jatuh. Mohammad Roem kemudian berkomentar sendiri tentang sosok Maeda, ia menyatakan, “Maeda adalah orang yang patut dihormati. Ia lebih mendengarkan hati nuraninya daripada disiplin militer. Pada saat demikian itu, malah hati nurani yang penting. Maeda bantuannya besar, sekalipun hanya bantuan moril dan menyediakan tempat tinggalnya dimana alat-alat Yamamoto dan Nishimura dan Kempetai tidak dapat mengganggunya.

tidak berbeda jauh dengan Mohammad Roem, Soekarno menilai pribadi Maeda dalam rangkaian kalimat satu paragraf dalam otobiografinya demikian:

Laksamana Maeda adalah orang berpandangan luas, seorang idealis yang sangat taat beragama. Sebagai orang yang sudah pernah merantau kemana-mana, dan pernah mengunjungi Indonesia sebelum perang, ia dapat memahami cita-cita kami. Terutama disaat-saat terakhir yang mennentukan ini. Ia keluar dari rumah untuk menguatkan secara pribadi jaminan perlindungannya, akan tetapi, katanya, diluar dinding rumahnya dia tidak bisa bertanggung jawab. Itu adalah daerah militer.

Maeda anak seorang kepala sekolah di Kijimachi yang lahir pada tanggal 3 Maret 1898 dalam perkembangannya dikenal para republikan sebagai seorang kepribadian sopan, bersahabat, dan suka menolong. Maeda seorang perwira tinggi yang memiliki intelegensi melampaui zamannya. Humanisme bagi Maeda memiliki kandungan nilai kemanusiaan yang tinggi dan universal. Hal inilah yang kemudian membuatnya bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam membebaskan tanah airnya dari penjajahan. Meskipun ia orang Jepang asli dan menjadi agen fasisme Jepang, namun cintanya terhadap Indonesia luar biasa bagi orang asing seperti dirinya. “Jangan meninggalkan Indonesia karena Indonesia kaya akan sumber daya alam manusia.

Mengutip Anderson dan Kanahale, Suhartono mengisahkan karier Maeda sebelum ditugaskan di Indonesia. Maeda masuk Marine College pada umur 18 tahun dan kemudian menjadi seorang spesialis navigasi. Pada tahun 1930, pada waktu berangkat letnan, ia masuk di Staf Angkatan Laut dan bekerja selama dua tahun di Seksi Hubungan Eropa Departemen Angakatan Laut di Tokyo. Dua tahun kemudian ia bekerja di Pangkalan Angkatan Laut di Ominato dan disitu istrinya meningal. Pada tahun 1937, ia dikirim sebagai ajudan untuk Laksamana Sonosuke Koboyashi yang mewakili Jepang pada waktu upacara penerimaan oleh ratu Inggris, ia bekerja di Armada Campuran di PerairanCina, sebagai pembantu komandan Laksamana Zengo Yoshida, setelah itu ia menjadi pembantu Laksamana Kiyoshi Hasegawa, komandan pangkalan Angkatan Laut Yokosuka.

Mulai februari 1940, Maeda menjadi Atase Angkatan Laut di Belanda dan pada bulan Oktober ia juga menuju Jakarta sebagai anggota missi Kobayashi. Tugas utama Maeda adalah mengumpulkan rahasia militer Belanda. Bersama dengan seorang sipil Nishijima, Ishii, dan Machida, ia membentuk kolone kelima bersama orang-orang Indonesia. Pada bulan Juni 1941, ia pulang ke Jepang dan pada bulan September ia diangkat menjadi wakil kepala seksi Eropa pada Staf Jenderal Angkatan Laut. Pada bulan Agustus 1942, ia dikirim ke Jakarta untuk menduduki jabatan baru dikantor penghubung antara tentara ke-16 Angkatan Darat dengan Pemerintahan Angkatan Laut di Makasar.

Kemudian dalam menjalankan perannya banyak pertolongan yang diperoleh orang-orang Indonesia dari Maeda dalam masalah-masalah terdahulu, Maeda sedikit demi sedikit memperoleh nama besar dan juga kepercayaan besar dikalangan para intelektual Indonesia. Dulu orang-orang Manado dan orang-orang Ambon tidak begitu dihargai oleh Jepang. Dan nasib para anggota keluarga militer Manado dan Ambon yang ada dilain tempat sangat buruk. Maeda berbuat banyak untuk memperbaiki nasib orang-orang ini.

Ia juga berhasil menolong para pemuda Manado, Ambon, dan cina masuk ke Geneeskundige Hogeschool atau Technische Hogeschool yang semula telah ditolak. Semua itu membuat Maeda mendapat nama baik dikalangan atas tokoh-tokoh Indonesia. Nama itu beberapa kali diperbesar lagi tanpa menjadi maksud atau karena jasa Maeda sendiri.

Kantor Kaigun beberapa kali telah beberapa kali telah berhasil mengeluarkan beberapa tokoh terkemuka yang ditahan kempetai di penjara, antara lain Mr. Subardjo, Mr Latuhahari, Dr. Sitanal-dokter kusta yang terkenal saat itu, dan Mr. Singgih. Itu bukan semuanya pekerjaan Maeda, tetapi ia memperoleh nama baik karenanya. Karena itu semua dan pertemuan malam hari diantara para nasionalis pada tanggal 16 Agustus dirumah Maeda, dimana-mana juga kalangan orang-orang Indonesia, didapat kesan seolah-olah Maeda adalah orang besar yang mempersiapkan Republik Indonesia ini. Memang benar Maeda sebelum ada penyerahan Jepang kepada sekutu, ia banyak berusaha untuk menyokong persiapan kemerdekaan setulus hati. Mengenai bantuannya sesudah penyerahan Jepang, bisa diberikan kepastian bahwa hal itu tidak lebih dari pada simpati.


Saya mengetahui segalanya yang terjadi sesudah itu; dan jika ada sesuatu yang terjadi, yang tidak beres, saya secara pribadi juga dapat dimintai pertanggung jawaban seperti Maeda.
Mengenai pemberian senjata, kaigun dapat memberikan penjelasan bahwa tak ada senjata yang diberikan kepada orang-orang Indonesia sepengetahuan Maeda. Seandainya ia melakukan hal demikian ini, ia niscaya menggunakan saya sebagai juru bahasa sebagaimana biasanya dalam pembicaraan demikian itu dengan orang-orang Indonesia.

mengenai bantuan senjata dari Perwira Kaigun kepada bangsa Indonesia, seperti yang diungkapkan Nishijima ada benarnya benar. Bantuan senjata dari Kaigun memang pernah diberikan tetapi setelah masa revolusi kemerdekaan meskipun hubungan antara Laksamana Yaichiro Shibata dan tokoh Indonesia sudah erat sekali sebelum Proklamasi dikumandangkan. Menurut kesaksian dokter pribadi Soekarno, dr. Suharto, Laksamana Maeda pernah mengantar para tokoh Indonesia sampai pintu pesawat ketika akan menemuai Laksamana Yoichiro Shibata di Bali pada Juli 1945. meskipun Suharto hanya sebagai dokter pribadi, namun hubungan dengan Soekarno sangat dekat sekali dan sering menemui perjalanan kunjungan Soekarno ke luar daerah, termasuk ketika mengadakan pertemuan dengan militer-militer Jepang. Mengenai dukungan Kaigun hingga kemudian bantuan senjata yang pernah diberikan atas bantuan Laksamana Yaichiro Shibata itu, Suharto mengbdikan kesaksiannya dalam bukunya demikian:

Pada suatu hari di bulan Juli 1945, Bung Karno meminta kepada saya agar standby, karena sewaktu-waktu hendak mengajak saya terbang ke Bali. Jadwal penerbangan itu tak dapat ditentukan terlebih dahulu, karena harus memilih waktu yang tepat untuk menghindari kemungkinan sergapan dari pesawat sergapan sekutu.
Maksud penerbangan ke Bali ini untuk menemui Laksamana Yaichiro Shibata, Panglima Kaigun Angkatan Laut, yang membawahi Nusantara, kecuali Sumatera dan Jawa. Menurut pembagian kekuasaan balatentara Jepang, Sumatera diduduki oleh divisi 25, dan Jawa serta Madura diduduki oleh Divisi Angkatan Darat Jepang. Laksamana Shibata sebenarnya bermarkasdi Ujung Pandang, tapi karena kota itu sudah menjadi sasaran pemboman pesawat Sekutu, untuk sementara ia bermarkas di Singaraja.
Ketika tiba-tiba waktu keberangkatan diumumkan, ternyata Bung Karno didampingi Bung Hatta dan Pak Bardjo. Laksamana Maeda mengantarkan kami sampai tangga pesawat. Dia wakil Laksamana Shibata yang berkedudukan di Jakarta. Ia merupakan perwira penghubung dengan pihak Angkatan Darat.
Penerbangan ke Denpasar tidak mengalami gangguan suatu apa, dan setibanya disana kami naik mobil menuju kintamani, tempat penginapan kami. Adapun pembicaraan yang dilakukan oleh Bung Karno dan Laksamana Shibata berlangsung di Singaraja. Tempat kediaman Panglima Kaigun itu. Pembicaraan berlangsung beberapa kali, dan Bung Karno selalu didampingi Bung Hatta dan Pak Bardjo..... Pak Bardjo mengatakan kepada saya, Shibata menaruh simpati besar terhadap perjuangan mewujudkan Indonesia. Merdeka dalam waktu dekat, dan akan memberikan segala bantuan yang mungkin dapat ia berikan. Janji itu betul-betul dipenuhinya, beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Shibata yang pada waktu itu berada di Surabaya menyerahkan banyak senjata kepada pemuda-pemuda kita.

Terlepas dari semua itu dalam kenangan para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, pribadi Maeda memang sangat mengesankan. Maeda memiliki sikap yang menarik dan pendekatan pribadi yang unik kepada siapa saja bahkan untuk orang yang tak dikenalnya sekalipun. Rasa kemanusiaannya tinggi, terutama terhadap aspirasi nasional dan masalah-masalah yang berbeda dengan politik Angkatan Darat yang kaku.


















PEKIK MERDEKA DI PEGANGSAAN TIMUR 56

BUNG KARNO SAKIT
Dalam ingatan Fatmawati, saat itu suaminya pulang ketika sudah menjelang subuh.soekarno saat itu masuk kamar, dari wajahnya tampak lelah dan lesu. Berkata kemudian ia kepada Fatma, “Fat, besok kita umumkan kemerdekaan bangsa kita. Teman-teman Mas telah sepakat untuk mengumumkannya dihalaman rumah kita ini.” mendengar kabar baik dari suaminya itu, Fatma yang berbaring disamping Guntur tersenyum kearah Soekarno. Ia lalu berucap, “Alhamdulillah apa yang kita dan bangsa Indonesia inginkan selama ini tercapai.” Fatma ingat dipagi yang hampir terang itu, meskipun suaminya tampak kecapaian tetapi ia tetap memaksakan diri untuk menuliskan sesuatu. Berkali-kali Soekarno menuliskan sesuatu kemudian dirobeknya lalu dibuang keranjang sampah. Apa yang dilakukan Soekarno menjelang proklamasi dirumahnya itu? Di dalam otobiografinya, Soekarno mengisahkan apa yang dikerjakannya di pagi buta itu:

Setelah sampai dirumah aku langsung manuju ke mejatulis dan langsung duduk disana selama berjam-jam...... kamu mulailah membuat petunjuk-petunjuk untuk para pemimpin negeri kami. Kepada yang satu aku menulis instruksi secara terperinci, bagaimana menyerahkan pasukannya guna pertahanan. Kepada yang lain aku mengeluarkan ketentuan untuk mengambil alih pemerintahan ditingkatan desa. Kepada yang lain lagi aku menulis, “Besok saudara akan mendengar melalui radio, bahwa kita sekarang telah menjadi rakyat yang merdeka. Begitu saudara mendengar berita itu, bentuklah segera komite kemerdekaan daerah disetiap kota dalam daerah saudara. Aku menulis berlusin-lusin surat hingga akhirnya aku rebah...

Soekarno tampaknya mengalami pergulatan dan keresahan yang sangat didalam batinnya. Berkali-kali fatma mengamati suaminya mondar-mandir keluar masuk kamar. Sampai kemudian menurutnya baru sekitar pukul 6.00 pagi. Soekarno berbaring dan berusaha untuk memejamkan mata.

Pada hari Jumat dibulan suci Ramadhan itu, Dokter Suharto (dokter pribadi Bung Karno) seperti biasa pada pagi hari berkunjung kerumah Bung Karno di Pegangsaan Timur. Tetapi hari itu dalam ingatan dokter Suharto tidak seperti hari-hari biasa, pada pagi-pagi hari telah banyak orang yang berkumpul di Pegangsaan Timur 56 itu. Dokter Suharto kemudian menuju ke kamar Bung Karno dan keluarganya ia mendadak berpapasan dengan dr. Muwardi. Ia berkata kepada dr. Suharto demikian, “Masih tidur semua. Semuanya beres. “Dokter Suharto yang saat itu tidak tahu rangkaian peristiwa bersejarah sejak sehari sebelumnya. Dokter Muwardi berkata bahwa Bung Karno baru masuk kamar tidurnya menjelang subuh sekembalinya dari rapat di rumah Maeda.

Kira-kira pukul 8.00 pagi dokter Suharto yang memperkirakan bahwa Bung Karno sudah tidur dan beristirahat selama empat jam kemudian memberanikan diri masuk kedalam kamarnya . Memang waktu yang diperlukan untuk tiduk oleh Bung Karno setiap hari kira-kira empat jam. Setelah masuk kamar bung karno, dokter Suharto masih menemukan Bung Karno dalam kondisi tidur, tetapi segera terbangun oleh sentuhan tangannya. “Pating Greges,” kata Bung Karno setelah membuka mata. Meriang, Dokter Suharto kemudian meraba dan merasakan bahwa badan Bung Karno memang panas. Soekarno juga menyebutkan dirinya sakit pagi hari menjelang pembacaan teks Proklamasi:

Aku bukan hanya tidak tidur selama dua hari, melainkan juga dalam keadaan kumat oleh serangan malaria. Badanku menggigil dari kepala sampai kekaki. Panas badan naik sampai 40. sekaligus dihinggapi serangan yang hebat ini aku berbaring... “Badanku tidak enak. Aku sakit,”... Aku merasa sangat mual. Atas perintah Suharto tak seorangpun diijinkan masuk kamar tidurku. Aku menutup pintu dan menahan serangan yang sangat hebat.

Tidak jarang, dalam keadaan lelah sekali, Bung Karno sering mengalami panas badan. Menurut dokter Suharto gejala itu timbul setelah ia menderita penyakit Malaria Tertiana dalam sebuah kunjungannya ke Makasar. Pengobatan dengan chinine dapat menolongnya meskipun dalam pemeriksaan laboraturium dalam darahnya tidak dapat ditemukan lagi malaria plasmodium. Prof. Hendarmin, menurut dr. Suharto, pernah mengatakan setelah memeriksa kesehatan Bung Karno gejala itu mungkin disebabkan oleh Tonsillitis Chonica.

Kemudian setelah mendengar keluhan Bung Karno segera memeriksanya. Meskipun saat itu tidak menemukan gejala-gejala lain dan atas persetujuan Bung Karno, dokter Suharto kemudian memberikan suntikan chinine-urethan intramusculair, selanjutnya mempersilahkan minum broom-chinine.`Setelah memeriksa Bung Karno dan memberikan suntikan itu, dokter Suharto kemudian keluar dari kamar Bung Karno. Di luar kamar, dr. Suharto bertemu dengan fatmawati dan ia terangkan tentang keadaan Bung Karno dan mengemukakan saran agar Bung Karno dibiarkan tidur sampai panasnya mereda. Fatmawati saat itu berkata kepada dokter suharto, “baik Mas, saya sendiri sebetulnya juga capek sekali setelah kembali dari Rengasdengklok dan menyelesaikan pembuatan bendera yang akan dikibarkan hari ini.”

Dokter Suharto kemudian kembali kedalam kamar Bung Karno dan terus menungguinya. Kira-kira pukul 09.30 Bung Karno bangun dan badannya sudah tidak panas lagi. Dokter Suharto kemudian berkata kepada Bung Karno bahwa saat itu sudah pukul setengah sepuluh, “sudah jam setengah sepuluh Mas, “kata dokter Suharto. Bung Karno segera turun dari tempat tidur sambil berkata, “minta Hatta segera datang.” Dokter Suharto kemudian segera keluar mencari dokter Muwardi karena ia tidak dapat segera dijumpai, kemudian pesan Bung Karno ia sampaikan kepada Latief Hendraningrat, yang saat itu mengenakan seragam Opsir PETA.

Ketika dokter Suharto kembali ke dalam kamar Bung Karno, ia melihat Bung Karno sudah berpakaian rapi didampingi Fatmawati. Dokter Suharto menggambarkan detik-detik menjelang Bung Karno bertemu dengan Hatta dan keluar dari kamarnya tersebut:

Bung Karno mengenakan Busana serba putih: celana putih dan kemeja putih dengan potongan yang disebut secara populer waktu itu sebagai “kemeja pemimpin”, lengan panjang, bersaku empat, dengan band di pinggang belakang. Bung Karno tampak tampan dan gagah, penuh percaya diri, serta dengan penampilan yang meyakinkan.

Detik-detik yang Bersejarah
Rapat semalam suntuk para pemimpin gerakan kemerdekaan dirumah Maeda memutuskan proklamasi akan dilakukan di halaman rumah Bung Karno pada jam 10.00 pagi. Tanggal 17 Agustus 1945 pagi sejumlah besar anggota panitia Kemerdekaan dan pemimpin pemuda seudah berada diserambi belakang rumah Bung Karno. Rakyat Jakarta yang telah mendengar berita bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamirkan dirumah kediaman Soekarno makin banyak mengalir ke jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Untuk menjaga situasi, Kepala Keamanan dr. Muwardi memerintahkan kepada Shodanco PETA, Latief Hendraningrat untuk menugaskan anak buahnya berjaga-jaga disekitar kediaman Soekarno. Hal ini dilakukan sebagai upaya siaga terhadap kemungkinan ada sebagian tentara Jepang yang datang mendadak unutk menggagalkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Jika hal itu terjadi, tentara PETA yang telah dipersenjatai lengkap diperintahkan harus segera mengeluarkan tembakan-tembakan.

Sementara itu sejak pagi hari walikota Jakarta, Suwiryo , meminta kepada Wilopo karyawannya dibalai kota untuk mempersiapkan mikrofon serta peralatan-peralatan pengeras suara untuk keperluan upacara pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Alat-alat itu akhirnya dapat wilopo dapatkan dari rumah Gunawan pemilik radio satria di Jalan Salemba Tengah No.24 Jakarta. Sudiro yang pada waktu itu merangkap sebagai sekrataris dan pembantu umum Soekarno kepada S. Suhud seorang anggota barisan pelopor komandan pengawal rumah Soekarno meminta untuk menyiapkan sebuah tiang bendera. Diantara kesibukan itu, Fatma mendengarkan teriakan bahwa bendera belum ada. Mendengar itu Fatma mengambil bendera yang ia buat sendiri ketika Guntur masih berda dalam kandungan, kira-kira satu setengah tahun yang lalu. Bendera yang ia simpan rapi dialmari kamarnya itu kemudian Fatma diberikan kepada salah seorang pemuda untuk digunakan dalam upacara Proklamasi Kemerdekaan.

Bendera yang dijahit dengan sendiri oleh Fatmawati telah siap dikibarkan pada hari yang bersejarah itu. Bahan atau kain bendera itu bukanlah kain atau bahan yang bagus. Sebenarnya kain atau bahan itu awalnya tidak disiapkan untuk menjadi bendera. Bentuk bendera dan ukurannya juga bukanlah bentuk dan ukuran yang standar. Namun itulah bendera yang dinaikan pada saat-saat peristiwa penting terjadi bendera pusaka yang memiliki nilai sejarah luar biasa.


Para pemuda yang sudah berkumpul sejak pagi dikediaman Soekarno mulai khawatir setelah menunggu beberapa lama proklamasi tak kunjung diumumkan. Maka mereka kemudian mendesak dr. Muwardi untuk memberitahukan serta mendesak kepada Soekarno agar segera mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Muwardi juga sependapat dengan pemuda yang gelisah itu. Ia juga khawatir jika Proklamsinya itu tidak diumumkan, jikalau tentara Jepang lengkap dengan senjatanya tiba-tiba datang menyerbu untuk melarang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan. Maka Muuwardi mengetuk pintu kamar Soekarno menyampaikan bahwa pemuda sudah gelisah agar Soekarno segera mengumumkan Proklamasi Indonesia. Tetapi Soekarno menolak desakan-desakan pemuda yang sudah gelisah itu. Soekarno tidak mau mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia jikalau Hatta belum hadir.

Pada waktu Muwardi masih juga mendesak agar Soekarno mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan dan tidak perlu menunggu kedatangan Hatta, karena menurutnya teks Proklamasi toh sudah ditandatangani oleh Hatta. Dengan nada marah Soekarno berkata, “Saya tidak akan mengumukan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia jikalau Hatta tidak ada. Jikalau mas Muwardi tidak mau menunggu, silahkan baca sendiri proklamasi.” Mendengar jawaban itu, akhirnya dr. Muwardi tidak berani mengganggu Soekarno lagi.

Tidak lama kemudian orang-orang yang hadir menjadi rebut berseru, “Bung Hatta datang!”. Lima menit sebelum acara dimulai, Hatta sudah datang. Ia berpakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno yang saat itu kurang enak badan, karena beberapa hari dengan para tokoh tua dan muda bekerja keras berpacu dengan waktu. Didalam kamar itu hanya ada Soekarno, Hatta, dan Fatma. Fatmawati mengisahkan,”… Bung Hatta datang, terus masuk kekamar kami. Kami bertiga; Bung Karno, Bung Hatta, dan aku bercakap, Bung Karno berbaring ditempat tidur. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Pintu dibuka dan masuklah beberapa pemuda memberitahu segala sesuatu sudah siap. Bung Karno bangun dan terus mengenakan peci.”

Soekarno, Hatta keluar bersama-sama diiringi Fatmawati. Bung Karno sejak dari serambi belakang menuju serambi depan dia diapit sebelah kirinya oleh Bung Hatta sementara Latief disebelah kanan. Saat itu seragam PETA yang dikenakan Latief sebenarnya lusuh dan penuh tambalan.


Para tokoh lainnya mengikuti dibelakang. Latief ikut mendampingi Bung Karno dan Bung Hatta karena dialah yang bertanggung jawab atas keamanan upacara. Pasukan Latief yang siap siaga menghadapai segala kemungkinan sergapan dari tentara Jepang. Diberanda depan sudah terpasang mikrofon, Bung Hatta berhenti. Sedangkan Bung Karno dan Latief tetap berjalan terus. Bung Karno mendekati mikrofon.

Upacara yang sangat penting dalam Sejarah Nasional Indonesia siap digelar. Semua hadirin berdiri. Chudanco Latief Hendraningrat menjadi Komandan upacara. Soekarno dan Hatta sudah berada ditempat yang ditentukan. Di belakang Soekarno berdiri tegak Shodanco Sanusi, sedang dibelakang Hatta berdiri Shodanco Moh. Saleh. Fatmawati didalam bukunya menuliskan kejadian bersejarah itu demikian:
Mula-mula Bapak mengucapkan pidato dihadapan massa, yang menurut penaksiranku kurang lebih 300 orang. Pidato Bung Karno saat itu lebih berapi-api dari pada pidato hari-hari sebelumnya atau hari-hari sesudahnya.
Setelah selesai memberikan pidatonya, mulailah Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Aku lihat beberapa orang mengucurkan air mata, gembira bercampur haru. Tampak olehku Pak Suwirjo terisak-isak, demikian juga aku sendiri. Saat itu aku melihat banyak lelaki mengucurkan air mata. Aku lihat Bung Karno dan Bung Hatta bersalaman, sementara itu Pak Latief Hendraningrat mempersiapkan upacara pengibaran sang saka merah putih. Aku bersama-sama dengan S.K Trimurti menuju ke tiang bendera. Upacara bendera dipimpin Pak Latief, dengan diiringi lagu Indonesia Raya, tanpa music. Semua tertib dan khusuk.

Adapun pidato Bung Karno yang didalamnya tercakum “Proklamasi Kemerdekaan” adalah sebagai berikut:
Saudara-saudara sekalian, saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita Bangsa Indonesia telah berjuang untuk Kemerdekaan tanah air kita. Bahkan beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai Kemerdekaan itu ada naiknya dan ada turunnya, jiwa kita tetap menuju kearah cita-cita. Juga didalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai Kemerdekaan Nasional tidak berhenti-henti. Dizaman Jepang ini tampaknya saja kita menyadarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya tetap menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita kedalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seiya-sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang untuk menyatakan Kemerdekaan itu. Saudara-saudara dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu dengarkanlah proklamasi kami:



Demikianlah saudara-saudara!
Kita sekarang telah merdeka! Kita sekarang telah merdeka!
Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita!
Mulai saat ini kita menyusun negara kita! Negara Merdeka!
Negara Republik Indonesia Merdeka kekal dan abadi. Insya Allah Tuhan
Memberkati kemerdekaan kita itu.

Ada yang menarik yang kemudian sempat menjadi polemik antara Soekarno dan Hatta kemudian hari mengenai penilaian Soekarno atas peranan Hatta pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan. Pernyataan ”Soekarno tua”itu mengundang reaksi Hatta didalam bukunya. Dalam otobiografinya Soekarno dibuat ketika berada diatas tampuk kepresidenan, ia mengisahkan kejadian pada detik-detik menjelang proklamasi yang terkesan mengesampingkan peran Hatta. Peryataan Soekarno yang terekam dalam buku otobiografinya itu sebagai berikut:

Sekarang Bung sekarang....! Rakyat berteriak, ”Nyatakanlah sekarang...”
Setiap orang berteriak kepadaku, ”Sekarang Bung...” Ucapkanlah pernyataan kemerdekaan sekarang…. Hayo, Bung Karno… hari sudah tinggi….
Hari sudah muilai panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana dimana setiap orang mendesakku, anehnya aku masih dapat berpikir dengan tenang.
”Hatta tidak ada, ”kataku. ” saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada.”
Tidak ada orang yang berteriak, ”kami menghendaki Bung Hatta.” Aku tidak memerlukanya. Sama seperti juga aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri disaat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Didalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Bung Hatta dalam sejarah tidak ada.”
Perannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada, hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya kedepan. Aku memerlukan orang yang dinamakan “pemimpin” ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan dihari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan orang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.
Dalam detik yang gawat dalam sejarah inilah Soekarno dan tanah air Indonesia menunggu kedatangan Hatta.

Menanggapi Bung Karno dalam otobiografinya itu, Bung Hatta menanggapinya sebagai berikut:

inilah ucapan seorang diktator Soekarno yang mengagungkan dirinya dan lupa daratan, berlainan dari Soekarno dulu pemimpin rakyat dimasa proklamasi dan sebelumnya.

Dibagian lain dalam bukunya dapat dibaca kegiatan Hatta setelah selesai mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 16 Agustus dini hari dirumah Maeda. Hatta menuturkan sebagai berikut:

Waktu itu bulan puasa, sebelum pulang saya dapat makan sahur dirumah admiral Maeda. Karena nasi tidak ada yang saya makan ialah roti, telur dan ikan sardines. Tetapi cukup mengenyangkan. Setelah pamitan dan mengucapkan terima kasih banyak pada tuan rumah, saya pulang dengan menggonceng sama Bung Karno yang menyinggahkan saya dirumah. Saya baru tidur sesudah sembahyang subuh dan bangun kira-kira setengah sembilan. Setelah mandi dan bercukur saya bersiap-siap untuk berangkat ke Pegangsaan Timur 56 guna menghadiri pembacaan teks proklamasi pada rakyat banyak. Serta penaikan Bendera Sang Merah Putih yang akan dikunci dengan lagu Indonesia Raya. Kira-kira pukul sepuluh kurang sepuluh menit saya berangkat dari rumah. Dan lima menit sebelum pukul sepuluh saya sudah berada disana. Orang tahu bahwa saya tepat menurut waktu. Sebab itu tidak ada orang yang gelisah, takut kalau saya terlambat datang. Soekarno pun tidak kawatir karena ia tahu kebiasaan saya.

Karena itu Bung Hatta sempat menganggap lucu dongeng Bung Karno tesebut. Meski Dwitunggal itu banyak berselisih paham kemudian, terutama setelah Soekarno menerapkan demokrasi terpimpinnya, tetapi pahit getir masa-masa berjuang dizaman bergerak tidak mampu membohongi ikatan dan kedekatan batin sampai salah satu mengakhiri hayatnya. ”ialah satu-satunya sahabat Soekarno yang negok dirumah sakit begitu Soekarno dirawat. Apapun yang terjadi diantara mereka karena adanya perbedaan prinsip barangkali, pada detik-detik terakhir hanya Hatta yang menjumpai Soekarno, kedua pemimpin ini sulit dipisahkan.”
Dua Foto, Bambu Jemuran, dan Pengibaran Bendera
Karena tegangnya situasi yang dihadapi dan dialami pada masa proklamasi, Latief sampai lupa menghubungi RM Sutarto yang waktu itu mengepalai bagian perfilman pada Kantor Penerangan dan Propaganda Jepang sehingga seluruh kejadian di situ tidak bisa diabadikan dengan film. Bahkan ia lupa memberitahukan kepada wartawan, sehingga wartawan yang hadir hanya Frans Mendur saja. Frans Mendur, dari kantor berita Domei seksi Indonesia, yang memiliki kamera Leica juga hanya membawa dua plat film. Sehingga hanya ada dua foto otentik saja yang mengabadikan peristiwa proklamasi kemerdekaan.

Saat upacara rangkaian proklamasi berlangsung, Latief Hendraningrat mengatakan, "ketika Frans akan mulai memotret, ia telah bergeser ke kanan agar hanya Bung Karno dan Bung Hatta saja yang kena tetapi ternyata masih kena juga."19 Selesai pembacaan pro¬klamasi saat itu jam 12.30 artinya jam 12.30 waktu Tokyo atau jika disamakan waktu Jawa ketika itu jam 11.00 pagi. Jika disesuaikan dengan waktu Indonesia barat jam 10.30 pagi.

Beberapa saat kemudian, muncul dua pemuda dan pemudi membawa baki yang berisi bendera merah putih. Mereka adalah S.Suhud bersama seorang pemudi langsung menuju kepada Latief. Dua pemuda itu mengangsurkan baki berisi bendera tersebut Otomatis Latief Hendraningrat-lah yang mengibarkan bendera. Waktu itu tidak ada protokol yang mengatur kalau mengibarkan bendera pusaka, di mana bendera pusaka diserahkan terlebih dahulu kepada presiden kemudian diserahkan kepada pengibar bendera. Lalu Latief Hendraningrat maju ke tiang bendera.

Ia menuju ke tiang bendera yang sebenarnya bambu untuk jemuran. Di ujungnya dipasangi kerekan dengan tali biasa yang kasar. Padahal sebenarnya di halaman depan itu ada dua tiang bendera yang lebih bagus, tetapi para pemuda memilih tiang bendera yang baru dan tidak mau memakai tiang bendera yang lainnya itu. Mereka tidak mau memakai tiang bendera yang ada hubungannya dengan Jepang.

Pada zaman Jepang bendera Merah Putih sudah boleh dikibarkan asal selalu didampingi bendera Jepang, Hinomaru. Itulah alasan para pemuda bahwa bendera Merah Putih itu jangan ada sangkut pautnya dengan apa saja yang berbau atau bekas Jepang. Latief tidak mengetahui pasti siapa yang mengatur agar dia mengerek bendera Merah Putih pada proklamasi itu. Ia berpikir mungkin karena untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta. Karena menurut peraturan Jepang ketika itu siapa yang mengibarkan bendera Merah Putih saja tanpa Hinomaru berarti salah. "Berarti kalau ada apa-apa yang salah saya sendiri, bukan Bung Karno dan Bung Hatta yang bisa ditangkap nanti. Saat penarikan bendera itu, Latief dibantu oleh seorang mahasiswa kedokteran Ika Daigaku yang bernama Suraryo.

Latief menjelaskan pengibaran bendera merah putih saat itu diiringi semua hadirin dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan yang dinyanyikan menurut Latief adalah refrain "Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka." Refrain yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia, meskipun refrain sudah banyak yang diubah dari yang asli sejak jaman Belanda dulu. Proklamasi kemerdekaan itu diakhiri dengan pidato sambutan Walikota Jakarta Suwiryo dan dr. Muwardi sebagai kepala keamanan.




Selesai upacara, Bung Karno, Bung Hatta dan para tamu saling berbincang-bincang pan menuju ruang resepsi. Di ruang makan yang cukup luas sudah terhidang makanan kecil yang sebelumnya. Ruangan itu berisikan dua stel kursi tamu, dua meja makan, satu meja makan harian, sedangkan yang lain meja makan yang panjang untuk jamuan besar. Dalam daftar hadir pada waktu pengucapan teks proklamasi di jalan Pegangsaan Timur 56 itu antara lain tercatat beberapa nama:
1. Golongan Tua yang tergabung di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekardjo Wirjopranoto, Soetardjo Lartohadikoesoemo, KH A. Wachid Hasyim, Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
2. Wakil Walikota Soewirjo
3. Ibu Fatmawati
4. Ny. SK Trimurti
5. Para Perwira PETA : Daedanco Abdulkadir, Shodanco Latief Hendraningrat, Eisei Shodanco dr. Sutjipto, Shodanco Kemal Idris, Shodanco Daan Yahya, Shodanco Arifin Abdul Rachman, Shodanco Singgih.
6. Barisan Pelopor : dr. Muwardi, Asmarahad
7. Barisan Pelopor Istimewa: Sudiro, Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Nur, Soepono.
8. Pers : Soeroto, S.F. Mendoer, Syahruddin.

Beberapa saat setelah upacara selesai datang dua petugas militer Jepang berpakaian sipil. Mereka memberitahu kepada Bung Karno agar jangan melakukan aksi politik. Dan Bung Karno bilang, mereka terlambat Bangsa Indonesia baru saja mengumumkan pro¬klamasi kemerdekaannya. Dua petugas militer Jepang itupun segera pergi.

Sementara itu menurut keterangan Nishijima Shigetada, ketika ia bangun tidur sekitar menjelang pukul 10:00 sepulang dari rumah Maeda, ia mendengar di luar rumahnya di jalan derap orang-orang berbaris, ketika Nishijima Shigetada menengok ke luar ia melihat beribu-ribu orang berbagai usia dan bermacam-macam dalam larikan empat ber¬baris seperti pasukan teratur menuju Koningsplein (Lapangan Monas/Ikada). Mereka membawa bambu runcing dan bendera merah putih. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Sudah barang tentu juga banyak teriakan.)

Nishijima Shigetada pada tanggal 17 Agustus pagi menjelang siang itu sangat terheran-heran dan menelepon kantor, dan salah seorang pegawainya seorang Indonesia ada sekitar 10 orang pegawai Indonesia mengatakan kepadanya bahwa akan diadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada. Nishijima Shigetada lalu dengan mobil kantor pergi ke kantor untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Pada waktu itu Nishijima Shigetada mendapat keterangan dari pegawai-pegawai Indonesia bahwa Indonesia hari itu akan diproklamasikan kemerdekaannya dan bahwa Soekarno akan berpidato di Koningsplein (Lapangan Ikada).

Saat itu di kalangan pemuda dan rakyat Jakarta sehari sebelum proklamasi diumumkan pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 tersebar desas-desus bahwa proklamasi akan dilaksanakan di Lapangan Ikada. Sumber berita itu menurut Sudiro berasal dari dr. Muwardi pada tanggal 16 Agustus 1945. Ia menugaskannya untuk menyebarluaskan be¬rita penting di Ikada tersebut khususnya di semua anggota barisan pelopor. Tetapi 17 Agustus pagi harinya berita itu diralat oleh Muwardi, sementara berita tentang acara di Ikada sudah tersebar di rakyat kebanyakan. Sehingga ketika Proklamasi selesai diucapkan di Pegangsaan Timur 56, rakyat yang terlanjur menuju ke lapangan Ikada baru bergerak menuju ke Pegangsaan.


Sementara itu pada siang hari tanggal 17 Agustus 1945, kembali kepada Nishijima Shigetada, ia masih berusaha mendapatkan keterangan di berbagai kantor Jepang, tetapi tidak berhasil. Sebab semua kantor itu sudah "dilumpuhkan". Baru kemudian pada sore hari sekitar pukul lima atau enam, ia mendapat keterangan dari pegawainya yang bangsa Indonesia yang telah ia utus untuk memperoleh keterangan dari luar, bahwa rapat raksasa di Koningsplein tidak jadi, tetapi dipindah ke rumah Soekarno di Pegangsaan dekat Stasiun Manggarai. Kemudian mereka menceritakan, Soekarno di sana membacakan proklamasi. Mereka lalu memberikan selembar kertas berisi teks proklamasi yang telah mereka bagi-bagikan. Kertas itu merupakan teks proklamasi yang tercetak di atas kertas putih. Begitulah berita proklamasi sudah mulai menyebar di berbagai pelosok kota Jakarta pada 17 Agustus siang.


Penyebaran Berita Proklamasi
Perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai puncaknya setelah penjajah Jepang menyatakan takluk tanpa syarat kepada sekutu dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta atas nama seluruh bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia segera tersebar secara luas. Selebaran berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dicetak secara kilat. Pekerjaan mencetak berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh para pemuda Indonesia pada dini hari tanggal 17 Agustus 1945. Rakyat Indonesia yang dipelopori oleh para pemuda sangat giat dan gesit menyebarluaskan surat-surat selebaran yang berisi Proklamasi Kemerde¬kaan Indonesia itu. Surat-surat selebaran dipasang serta ditempelkan di pohon-pohon, tiang-tiang listrik, tiang-tiang telepon, di dinding-dinding dan pintu-pintu rumah atau toko sejauh yang terjangkau. Pada hari itu juga yakni tanggal 17 Agustus 1945 berita Pro¬klamasi Kemerdekaan Indonesia telah disiarkan melalui pemancar radio ke seluruh dunia.

Sebelum meninggalkan rumah Lakasamana Maeda pada dinihari tanggal 17 Agustus 1945, Bung Hatta menyampaikan pesan kepada beberapa pemuda yang termasuk golongan pers. Hatta berkata, "Saudara-saudara sehari-harinya sudah bekerja keras. Tetapi saudara harus meneruskan pula dengan giat pekerjaan baru, yaitu memperbanyak teks proklamasi itu dengan menyebarluaskannya ke seluruh Indonesia sedapat-dapatnya. Saudara yang bekerja di kantor Domei, kawatkanlah sedapat-dapatnya berita proklamasi ini ke seluruh dunia yang dapat dicapai.

Pesan Bung Hatta sekitar jam tiga dini hari tanggal 17 Agustus 1945 itu dilaksanakan betul-betul oleh kalangan pers, baik kantor berita maupun radio, meskipun harus dila¬kukan dengan penuh risiko. Dalam buku Sagimun MD, disebutkan tiga versi peristiwa penyiaran berita proklamasi oleh kantor berita Domei. Pertama merujuk buku Veteran RI, berita proklamasi disiarkan oleh Syahrudin telegrafis Kantor Berita Jepang Domei. Ia diam-diam menyiarkan berita proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 16.00 sore pada saat personil Jepang pada kantor berita tersebut sedang istirahat makan.

Kedua merujuk Marwati Djonet Poesponegoro dkk, pada pagi hari 17 Agustus 1945, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei Weidan B. Palenewen. Ia menerima teks itu dari seorang wartawan Domei, Syahrudin. Segera ia memerintahkan F. Wuz seorang markonis, agar disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz menyelesaikan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruang radio. Ia mengetahui berita proklamasi itu telah tersiar ke luar udara. Dengan marah-marah orang Jepang itu memerintahkan agar penyiaran berita itu dihentikan. Berita itu kemudian diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran itu, pucuk pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan agar meralat berita tersebut dan menyatakannya sebagai kekeliruan. Pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945 pemancar itu disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk.

Sekalipun pemancar pada kantor Berita Domei disegel, mereka tidak kehilangan akal. Para pemuda membuat pemancar baru, dengan bantuan beberapa orang teknisi radio, Sukarman, Sutamto, Susilaharja, dan Suhandar. Alat-alat pemancar yang diambil dari kan¬tor berita Domei bagian demi bagian dibawa ke rumah Waidan B Palenewen dan sebagian ke Menteng 31dengan kode panggilan DJK I. Dari sinilah seterusnya berita proklamasi disiarkan. Usaha para pemuda dalam penyiaran tidak terbatas lewat radio saja, tetapi juga lewat pers dan surat-surat selebaran.

Ketiga, Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 08.00 Adam Malik datang ke kantor berita Domei. Ia muncul dipintu dan memanggil Sugiarin Hadiprojo. Kata Adam Malik, "Bung Giarin, big news sebentar lagi akan saya serahkan kepada Bung. Berita ini harus disebarluaskan di seluruh Indonesia dan ke seluruh dunia. Jalan satu – satunya hanya melalui pemancar kita. Jangan harap Hoosyookyoku (sekarang RRI), sebab dijaga ketat oleh Jepang."Sugiarin menjawab dengan tegas, "Ok, Bung!." Kemudian Adam Malik datang lagi ke kantor Domei. Ia memanggil Sugiarin dengan isyarat tangan, Sugiarin mendekat. Adam Malik mengatakan bahwa berita itu ada dalam sakunya. Lalu Adam Malik bertanya apakah Sugiarin berani menyiarkan berita itu. Dengan penuh semangat Sugiarin menjawab, "Berani." Dan tersiarlah berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu ke seluruh pelosok dunia. Pemerintah Jepang marah, dan Sugiarin Hadiprojo dibawa ke Markas Kempetai. Tetapi beberapa waktu kemudian Sugiarin dibebaskan.

Sementara itu menurut kisah Yusuf Ronodipuro, seorang penyiar di Radio Jakarta (Hoso Kanri Kyoku), usaha penyiaran berita proklamasi di radio tersebut dimulai ketika tanggal 17 Agustus 1945 Des Alwi, saat itu pegawai bagian teknik, berhasil masuk gedung radio dan memberitahukan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka. Hari itu tampak penjagaan gedung lebih diperkuat. Pada tengah hari tampak datang di gedung siaran beberapa mahasiswa kedokteran dari Asrama Prapatan 10 dengan membawa secarik kertas. Karena senjata pistol yang dibawa salah satu orang dari mereka jatuh di lantai, menyebabkan kecurigaan orang-orang Jepang. Mereka tidak diperbolehkan masuk dan secarik kertas yang dibawa diambil oleh tentara Jepang.

Tanggal 17 Agustus sore hari, sekitar pukul 18.30 Syahrudin, wartawan kantor berita Domei berhasil memasuki kantor gedung siaran dengan memanjat tembok belakang gedung dari Jalan Tanah Abang. Dia membawa naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang katanya telah disiarkan oleh Domei. Jusuf Ronodipuro setelah menerima secarik kertas dari Syahrudin, menceritakan hingga proklamasi itu berhasil disiarkan.

Saya bersama Bachtar Lubis dan Suprapto, ketika itu penyiar siaran luar negeri, membicarakan bagaimana naskah tersebut bisa disiarkan. Setelah kami mendapatkan kesepakatan, kami buat pula terjemahannya ke dalam bahasa Inggris. Hal ini kami beritahukan kepada Mr. Oetoyo Ramelan, sebagai pejabat tertinggi dan tertua di antara kita. Tetapi ia menyambutnya dengan ketus, "terserah kepada saudara-saudara. Kalau terjadi apa-apa kemudian, adalah tanggung jawab saudara-saudara!" Ucapan itu kami sambut serentak, “kita bersedia memikul segala konsekuensinya. Bahkan matipun siap!"
Setelah kami atur dengan kawan-kawan bagian teknik, maka tepat pada jam 19.00 pada saat siaran warta berita, naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kami siarkan. Karena kamar kontrol dan studio siaran yang masih terus dipakai, dijaga ketat oleh orang-orang Kenpentai, maka Proklamasi kemerdekaan kami siarkan dengan mempergunakan studio dan kamar kontrol siaran luar negeri, yang sejak tiga hari tidak dipakai lagi. Naskah bahasa Indonesianya saya yang membacakan, dan naskah bahasa Inggrisnya dibacakan Suprapto, melalui gelombang 49 meter (terletak di Jakarta dengan kekuatan satu kilowatt) dan gelombang 19 meter yang terletak di Bandung, yang dulu dipakai untuk siaran luar negeri dan pada saat itu dipergunakan oleh pimpinan tentara Jepang untuk siaran khusus bagi tentara Jepang.
Naskah proklamasi tersebut berhasil kami siarkan disebabkan karena kelengahan Kempetai untuk tidak mengadakan penjagaan di ruang studio luar negeri. Mungkin mereka pikir ruangan tersebut tidak dapat dipergunakan lagi. Sementara itu studio dan kamar kontrol, di mana siaran masih dilakukan, kami putar piringan-piringan hitam yang tidak kami masukkan ke pemancar, hanya ke loudspeaker saja. Sehingga orang Jepang yang menjaganya enak-enak duduk mendengarkan lagu merdu yang diputar, tanpa curiga bahwa dari tempat lain sedang disiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Seingat saya kawan-kawan yang membantu waktu itu antara lain Suwardio dan Ismaun Irsan.

Siasat penyiaran Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut kemudian diketahui Jepang. Sekitar jam 22.00 serombongan perwira Kempetai datang ke gedung radio dan tampaknya sudah mengetahui siapa biang keladinya. Bachtar Lubis dan Jusuf Ronodipuro ditangkap dan disiksa, sementara Suprapto dapat melarikan diri. Karena kebijakan Kepala Radio Balatentara Jepang, Tomobachi, yang sebelumnya dikenal ramah kepada pegawai radio orang Indonesia, akhirnya Bachtar Lubis dan Jusuf Ronodipuro dibebaskan.

Dalam buku biografi Sumanang, seorang tokoh pers, dikisahkan mengenai pengaruh pe¬nyiaran berita proklamasi di masyarakat pada awal-awal Indonesia memproklamirkan diri:


Berita proklamasi yang semula sudah disiarkan oleh kantor berita Jepang, Domei, kemudian dibantah lagi dan diperintahkan ditarik kembali oleh pembesar Jepang. Kemudian disusul berita baru lagi yang menegaskan bahwa berita proklamasi yang disiarkan hari Jumat itu benarlah adanya dan tidak usah diragukan lagi tentang otentisitasnya. Tanggapan rakyat di daerah semula juga tidak begitu gairah mendengar berita tentang adanya proklamasi kemerdekaan. Indonesia sudah merdeka. Tiada pikiran dan gambaran apa yang selanjutnya hendak dilakukan.

Di Jakarta sendiri keadaannya juga tidak jauh berbeda dengan kesadaan pada waktu sebelumnya. Ada satu dua kantor yang pegawainya menyatakan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia yang baru saja dibentuk, tetapi sebagian besar kantor pemerintahan lainnya, masih tetap melihat dan menunggu bagaimana perkembangan selanjutnya. Sementara di kantor tempat penguasa Jepang tidak tampak lagi sejumlah pegawai bangsa Indonesia memberanikan diri mengambil alih pimpinannya. Alhasil gerakan ekstrim timbul tetapi hanya insidental dan tidak bersifat massal dan serentak.



Situasi dan kondisi saat itu pada hakikatnya memang sudah memungkinkan rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi situasi dan kondisi pula yang menyebabkan bahwa siaran proklamasi itu disambut dengan tenang-tenang saja oleh rakyat kebanyakan. Untuk pertama-tama orang ragu mendengar berita telah diproklamasikannya kemerdekaan. Bahkan ada yang setengah percaya. Lebih-lebih orang yang bekerja di perusahaan surat kabar di daerah yang jauh dari Jakarta.

Sejumlah kaum wartawan antara lain yang bekerja di Domei sudah meyakini akan kegunaan media massa untuk menjadi corong atau alat membakar semangat rakyat. Karenanya, kurang dari 20 hari setelah kemerdekaan diproklamasikan, tepatnya pada 3 September 1945, mereka kembali menyatakan bahwa Antara telah berdiri kembali. Selama itu sebelumnya Antara dimasukkan dengan paksa ke dalam kekuasaan dan menjadi alat propaganda Jepang. Mula-mula dengan nama Yashima kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Domei. Karena kantor Domei masih diduduki Jepang, maka untuk sementara waktu Antara berkantor di gedung Jawa Hokokai. Di situ Antara mendapatkan sebuah ruang kecil untuk kantor redaksi, sedangkan kertasnya digunakaftkertas dari Domei juga yang dengan perantaraan orang-orang Indonesia yang bekerja di sana masih sempai mengambilnya untuk kepentingan perjuangan.

Pelan-pelan namun pasti, akhirnya gema Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah berkumandang ke seluruh pelosok tanah air Indonesia, bahkan ke segenap penjuru dunia menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan kaum penjajah. Tidak hanya di Indonesia sa¬ja, tetapi juga kekuasaan kaum kolonialis di negara-negara lain di daratan Asia maupun Afrika. Semangat kemerdekaan dan keinginan memiliki bangsa yang berdaulat memberikan energi berlebih kepada bangsa Indonesia untuk melawan siapa saja yang mencoba menghalangi. Revolusi Indonesia menjadi semangat baru bangsa Indonesia untuk menuju ke Indonesia yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

PETA: Benteng Pertahanan Proklamasi
Sampai kini belum banyak terungkap situasi sekitar pelaksanaan Proklamasi Kemer¬dekaan RI. Jepang pernah membuat film dokumenter tentang detik-detik menjelang Pro¬klamasi 17 Agustus 1945, yang difokuskan pada situasi dan kondisi tanggal 15 dan 16 Agustus 1945. Usaha itu kurang berhasil mengungkap hal-hal yang tersirat maupun tersurat di sekitar detik-detik Proklamasi. Salah satu pertanyaan ialah bagaimana mungkin pelaksanaan Proklamasi dapat berjalan aman dan lancar, sedangkan Pemerintah Jepang pada waktu itu masih berkuasa penuh?


Hal ini tidak lepas dari peran sertanya dua Batalion PETA dari Residensi Jakarta pada waktu itu, tanpa mengurangi peranan dan bantuan kelompok pejuang lain. Tentara PETA resmi dibubarkan oleh Pemerintah Jepang sebagai realisasi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyerahan mereka tanpa syarat kepada Sekutu. Tanggal 19 Agustus 1945 ditentukan sebagai tanggal pembubaran resmi. Oleh karena itu, semua kegiatan PETA yang dilakukan sebelum tanggal tersebut, yang bertendensi menentang Pemerintah Jepang, demi kepentingan kemerdekaan bangsa, pada hakikatnya sudah dapat ditafsirkan sebagai pemberontakan.

Sebelum dibubarkan, Daidan-daidan pada umumnya melakukan gerakan pemberontakan secara terselubung misalnya dengan memancing perkelahian di muka umum antara prajurit-prajurit PETA dengan serdadu-serdadu Jepang (Heitai) atau pegawai-pegawai sipil Jepang (Sakura). Dalam pemberontakan terselubung ini, Daidan-daidan antara lain melakukan kegi¬atan "ilegal" secara legal, yaitu dalam bentuk latihan kemiliteran yang diberikan kepada pa¬ra intelektual (pegawai, mahasiswa, pelajar) dan para anggota masyarakat pada umumnya (kalangan buruh/tani/anggota ormas). Semua dengan dalih memperkuat pertahanan militer Jepang, padahal bagi para anggota PETA, inilah persiapan kemerdekaan bangsa.

Mengenai keadaan dua Daidan yang ada di Residensi Jakarta, Daidan yang lokasinya ada di tengah kota Jakarta—Jaga Monyet—dipimpin oleh Daidan Mr. Kasman Singodimedjo, sedangkan Daidan II lokasinya di kota Purwakarta, yang pada waktu itu masih termasuk Residensi Jakarta (Jakarta Syu), dipimpin Daidancho Soerjodipoetro. Mereka tidak didominir oleh para penasihat militer Jepang, oleh karena itu mereka memiliki ruang gerak yang relative bebas. Daidan II hampir memiliki kedaulatan penuh. Sikap Daidancho Soerjodipoetro, yang tegas dan berani, didukung oleh para Chudancho, menjadi panutan bagi seluruh jajaran Daidan, sehingga para personel penasihat Jepang hanya berkomunikasi kalau ada perlu karena keseganan mereka menghadapi personil PETA.

Daidan I yang ada di kota Jakarta tidak pula didominasi personel penasihat Jepang. Anggota pimpinan yang ada, yaitu Daidancho Mr. Kasman Singodimedjo, Chudancho Latief Hendraningrat dan Chudancho Dr Soetjipto Gondoamidjojo sudah termasuk tokoh-tokoh organisasi Gerakan Kebangsaan pada zaman Belanda. Namun campur tangan personel penasihat Jepang di Daidan I cukup banyak, sehingga kebebasan bergerak sepenuhnya tidak diperoleh personel PETA, seperti di Daidan II. Dengan kata lain personel penasihat Jepang masih aktif turut mengatur jadwal kegiatan Daidan. Ditambah pula letak Daidan I berdekatan dengan pusat kedudukan tentara Jepang. Jadi keleluasaan bergeraknya jauh lebih kurang apabila dibandingkan dengan Daidan II Purwakarta.

Gerakan pemberontakan khusus yang menyangkut Daidan I di Jakarta, telah terjadi sebelum tanggal 15 Agustus 1945 secara terselubung. Baru mulai tanggal 15, 16 dan tanggal 17 diadakan secara terbuka dengan segala risiko, apabila diketahui oleh pihak Jepang. Gerakan pemindahan rombongan para Proklamator dari Jakarta ke Rengasdengklok sudah secara terang-terangan melibatkan personel dan peralatan Daidan I dan dapat diselesaikan dengan selamat Dari kota Rengasdengklok lahir "Kebulatan Tekad" untuk melaksanakan "Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945", salah satunya berkat peran langsung Tentara PETA.

Kemudian agar pelaksanaan proklamasi dapat diadakan sesuai waktu yang sudah disepakati, rombongan para Proklamator dipulangkan kembali ke Jakarta dan titik berat gerakan pemberontakan beralih kembali dari tangan Daidan Purwakarta ke tangan Daidan Jagamonyet Jakarta. Pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 Chudanco Latief Hendraningrat telah menyiapkan kompinya dalam keadaan siap tempur. Agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan militer Jepang yang diperbantukan kepada Daidan PETA, para sidokan, maka diberangkatkan terlebih dahuku satu regu. Mereka ditempatkan di belakang rumah Bung Karno, sepanjang rel kereta api di belakang tanggul.

Sedangkan beberapa perwira PETA ditempatkan di dalam dan di sekitar rumah Bung Karno, dan khusus untuk hubungan langsung dengan Daidan ditempatkan seorang shodancho di pesawat telepon Bung Karno. Hal ini untuk menjaga kemungkinan permintaan bala bantuan, apa¬bila dari pihak militer Jepang atau dari pihak mana pun menghalangi pelaksanaan Proklamasi.

Sampai pengerekan Bendera Merah Putih yang dilaksanakan oleh Latief Hendraningrat sendiri, adalah tidak mungkin militer Jepang sama sekali tidak mencium adanya "pembe¬rontakan" PETA itu. Jakarta sebagai pusat kegiatan militer Jepang, mustahil kalau mereka kurang mengetahui adanya tentara PETA yang berada di garis depan mengawal keamanan Proklamasi. Alasan Jepang tidak bertindak lebih disebabkan karena momentum di mana Pemerintah Jepang merasa terikat kepada perintah Sekutu untuk mempertahankan ke¬adaan status quo dan mereka sedang mengalami sesuatu kegoncangan mental setelah mengalami kalah perang, sehingga ingin menghindari adanya suatu konflik bersenjata sepanjang keadaannya masih dalam batas toleransi mereka. Menurut kenyataan sejarah, Bangsa Indonesia telah mengalami Proklamasi Kemerdekaan yang sangat unik yaitu tanpa didahului atau disertai letusan satu butir peluru pun. Padahal pada waktu itu Bangsa Indonesia sepenuhnya masih ada di bawah kekuasaan pemerintahan asing.

Tentara PETA, melalui Daidan I dan Daidan II Jakarta Syu terlibat langsung dengan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan dengan demikian pula dapat mewujudkan misi Indonesia Merdeka, suatu misi yang memotivasi mereka memasuki secara sukarela Tentara Pembela Tanah Air.


MENATA NEGARA MUDA


Presiden dan Sepiring Sate Pinggir Jalan
Memang tidak banyak orang yang menyaksikan peristiwa bersejarah pada hari Jumat, pukul 10.00 pagi, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan hari 17 bulan Ramadhan. Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan yang hanya terdiri dari dua kalimat. Terpendek di dunia, tetapi lahirnya juga dalam keadaan luar biasa. Keesokannya, Panitia Persiapan Kemerdekaan mengadakan rapat di Pejambon memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yaitu Soekarno dan Hatta.

Peristiwa itu terjadi 18 Agustus 1945 menjelang pukul 14.00. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan diucapkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kembali bersidang di Gedung Tyuuoo Sangi-In di Jalan Pejambon Raya, Jakarta Pusat. Hari itu, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) meneruskan pembicaraan mengenai rancangan naskah Undang-Undang Dasar (UUD). Namun, sebelum pasal-pasal mengenai Aturan Peralihan dibicarakan lebih rinci, ketua sidang, Soekarno, mengemukakan, "Untuk memenuhi permintaan pers", ia meminta sidang lebih dulu memasuki acara pemilihan Kepala Negara dan wakil- nya. Sesuai dengan Pasal III Aturan Peralihan, untuk pertama kali presiden dan wakil presiden dipilih PPKI.

Namun, sebelum formulir pemilihan dibagikan, anggota PPKI, Oto Iskandardinata, mengusulkan, "Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap supaya pemilihan presiden ini diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri. Para anggota PPKI menyetujui usul itu dengan tepuk tangan. Tanpa banyak basa-basi, Soekarno mengucapkan terima kasih “atas kepercayaan para anggota PPKI, dan dengan ini saya dipilih oleh tuan-tuan sekalian de¬ngan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia.”

Ucapan Soekarno disambut tepuk tangan. Lalu, semua anggota berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya, disusul teriakan Hidup Bung Karno tiga kali. Oto Iskandardinata lalu mengusulkan agar dengan cara yang sama Bung Hatta dipilih sebagai Wakil Presiden. Pa¬ra anggota PPKI kembali menyetujui usul itu dengan tepuk tangan. Semua yang hadir lalu berdiri untuk menyanyikan Indonesia Raya, lalu bersama-sama berteriak Hidup Bung Hatta tiga kali.
Hanya dalam waktu sekitar sepuluh menit Presiden dan Wapres pertama Republik Indonesia terpilih secara sah, sebab Aturan Peralihan UUD 1945 yang hari itu disahkan memang mengatur begitu. Namun, bukan hanya karena peraturan undang-undang yang mendorong cepatnya pemilihan itu, suasana saat itu memang menuntut cepatnya pengambilan keputusan.

Namun, di atas segala-galanya, ada "suasana kebatinan" di kalangan para anggota PPKI saat itu yang membuat mereka tanpa banyak interupsi dan secara aklamasi memilih Bung Karno dan Bung Hatta, dua calon terbaik saat itu, sebagai Presiden dan Wapres. Saat itu ada suatu perasaan senasib sepenanggungan yang membuat mereka bersatu dan merasa harus bergerak cepat karena jam sejarah tidak bisa lagi menunggu. Mungkin mereka sadar bahwa mereka sedang membuat sejarah: sebuah negara baru telah lahir dan merekalah yang ikut membidani lahirnya republik baru itu.

Suasana kebatinan itu juga yang tampaknya membuat mereka, para founding fathers, bersedia mengorbankan banyak hal demi persatuan bangsa, demi keberhasilan lahirnya Republik Indonesia. Hal itu tampak sekali saat dalam rembukan naskah UUD para tokoh Islam bersedia menghilangkan tujuh kata yang mewajibkan umat Islam menjalankan syariat agama agar perpecahan dengan wilayah Indonesia Timur bisa dihindari.

Tidak ada pesta yang diselenggarakan atas terpilihnya Bung Karno maupun Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Gegap gempita dan kegemparan pun tidak ada. Mereka tidak ada waktu untuk itu, saat itu terlalu banyak pekerjaan yang harus mereka hadapi. Sore harinya usai sidang PPKI tanggal 18 Agustus itu, ada kenangan istimewa antara Presiden Indonesia pertama dengan tukang sate. Soekarno mengisahkan dirinya yang presiden pada sore itu:


Setelah dipilih untuk memegang jabatan yang tertinggi di seluruh tanah air, maka presiden yang baru berjalan pulang. Di jalanan ia bertemu dengan tukang sate. Lalu. Paduka Yang Mulia Presiden Repiiblik Indonesia memanggil penjajah yang kaki ayam dan tidak berbaju itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama, "Sate ayam lima puluh tusuk." Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai Kepala Negara.

18 Agustus: Hari Konstitusi
Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 membahas pengesahan UU Dasar. Dipimpin Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI. Sebelum rapat di Gedung Tyuuoo Sangi-In dimulai, Bung Karno dan Bung Hatta meminta Ki Bagus Hadikusumo, KH Wachid Hasjim, Kasman Singodimedjo, Teuku Mohamad Hasan membahas rancangan UU yang dibahas Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945. Lebih khusus lagi, mereka diharapkan membahas kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Ini dilakukan sebab ada keberatan dari para pemeluk agama lain. Beberapa ang¬gota PPKI dari wilayah Timur seperti Dr. Sam Ratulangie (wakil Sulawesi), Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor (Kalimantan), I Ketut Pudja (Nusa Tenggara) dan Latuharhary (Maluku), seusai upacara di Pegangsaan Timur 56 menyatakan kemungkinan terjadinya kesulitan dengan kalimat tersebut.

Peristiwa itu diawali ketika sore hari, tanggal 17 Agustus 1945, Hatta menerima telepon dari juru Bahasa Laksamana Maeda, Nishijima Shigetada, apakah Hatta mau menerima kedatangan seorang perwira Kaigun yang akan bertemu dirinya sore itu. Hatta mempersilakan perwira Kaigun itu bertamu ke rumahnya. Perwira Angkatan Laut Jepang itu menyampaikan keberatan para tokoh Indonesia bagian Timur atas pemakaian kata-kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Menurut mereka, meskipun kata-kata tersebut tidak mengikat agama lain di luar Islam, namun dengan tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam UUD berarti menimbulkan perbedaan golongan. Jika hal ini tidak dibatasi, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Sejenak diam berpikir atas ancaman disintegrasi pada bangsanya yang baru merdeka dan ia perjuangankan berpuluh-puluh tahun, lantas ia berkata kepada perwira itu, "...esok hari dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan akan kukemukakan masalah yang sangat penting itu."

Kemudian esok paginya tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengundang keempat tokoh Islam Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, KH A. Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo untuk merundingkan masalah yang diajukan perwira Kaigun secara pra-formal. Tentang T. Muhammad Hassan bereaksi positif atas usul Hatta, hal itu dapat dipahami karena ia sama sekali tidak terlibat dalam sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, Sub Panitia 22, maupun Panitia Tujuh. Mengenai A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan itu karena ia sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur, sedangkan Kasman Singodimedjo, yang merupakan anggota tambahan PPKI, menerima undangan mendadak baru pada pagi hari itu sehingga dapat dimengerti bila dia sama sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah ini. Kasman bukan anggota BPUPKI, bukan pula anggota Panitia Sembilan, Sub-Panitia 22, maupun Panitia Tujuh. Na¬mun demikian Kasman sangat berperan dalam melunakkan hati Ki Bagus dalam mempertahankan "kalimat-kalimat Islami" sehingga Ki Bagus dapat menerima reduksi kalimat-kalimat tersebut.

Ki Bagus Hadikusumo saat itu seperti menanggung seluruh tekanan psikologis tentang berhasil tidaknya penentuan undang-undang dasar diletakkan pada pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada waktu itu. Posisi Ki Bagus dapat dimengerti karena ia anggota BPUPKI, anggota Sub-Panitia 22, dan anggota PPKI meskipun bukan anggota Panitia Sembilan dan Panitia Tujuh. Hal ini cukup mendasari bahwa Ki Baguslah yang mengetahui pergulatan dalam memperjuangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, sehingga sebenarnya ia berat menyetujui pencoretan tujuh kata yang diperjuangannya dan beberapa tokoh Islam sebelumnya itu.

Pendekatan Hatta saat itu berpegang pada pernyataan Soekarno bahwa UUD 1945 ha- nya bersifat sementara dan nantinya akan dibuat lagi Undang-Undang yang lebih lengkap, umat Islam boleh menyampaikan aspirasinya, serta mengingat pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Peran Kasman Singodimedjo untuk melunakkan dan memengaruhi Ki Bagus agar menerima usulan Hatta sangat besar. Melalui pendekatan pribadi dan pen¬dekatan Muhammadiyah. Persetujuan Ki Bagus berhasil didapat setelah Kasman menyatakan bahwa rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai pengganti tujuh kata tersebut mengandung konsep tauhid yang diyakini oleh umat Islam, yaitu keyakinan terhadap Allah swt. Kasman membangun logika keamanan negara yang sedang terancam. Dan Kasman juga meyakinkan kepada Ki Bagus bahwa jika keadaan sudah aman akan diperjuangkan lagi, "bukankah undang-undang ini sifatnya sementara?"

Akhirnya dicapai kata sepakat, demi kesatuan dan persatuan, kalimat itu dihapus. Pada pukul 11.30 rapat dimulai. Sesuai dengan harapan Bung Karno pada pembukaan, bahwa hendaknya mereka bekerja secepat kilat, pembahasan rancangan UU Dasar yang telah dibuat oleh BPUPKI dirampungkan tidak lebih dari dua jam, berikut pasal-pasal aturan peralihan dan aturan tambahan. Pada pukul 13.50 disahkan Rancangan dan Pembukaan UUD Negara RI, dengan Pancasila sebagai dasar negara yang terumus pada Pembukaan UU Dasar yang kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Di kemudian hari tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi.

Acara berikutnya, yang serba cepat, menurut istilah Bung Karno "secepat kilat" pada awal persidangan PPKI, hari itu diputuskan memberi tugas pada panitia kecil yang bertugas membuat rancangan usulan tentang hal-hal yang mendesak seperti pembagian wilayah, kepolisian, ketentaraan, dan perekonomian yang dipimpin Otto Iskandardinata. Pa¬nitia kecil menghasilkan usulan pembagian wilayah atas delapan provinsi dengan nama gubernurnya sekaligus; dibentuknya Komite Nasional Daerah yang akan membantu tugas Presiden dan Wakil Presiden. Pembahasan hasil panitia ini dilakukan tanggal 19 Agustus. Berikut pembagian negara Indonesia ke dalam delapan provinsi:

1. Provinsi Sumatera: Gubernur Teuku Muhammad Hassan
2. Provinsi Jawa Barat: Gubernur Sutarjo Kartohadikusumo
3. Provinsi Jawa Tengah: Gubernur Raden Panji Suroso
4. Provinsi Jawa Timur: Gubernur RMTA Suryo
5. Provinsi Sunda Kecil: Gubernur Mr. I. Gusti Ketut Puja
6. Provinsi Kalimantan: Gubernur Ir. Pangeran M. Noor
7. Provinsi Sulawesi: Gubernur Dr. GSJJ Ratulangi
8. Provinsi Maluku: Mr. J. Latuharhary9

Sebelumnya, Bung Karno meminta Ahmad Soebardjo membentuk panitia kecil dengan tugas membuat usulan bentuk departemen tanpa personalia yang pada akhirnya disetujui ada 12 departemen. Telah diputuskan pula Kabinet Presidensil sebagai kabinet Republik Indonesia yang pertama. Rapat hari Minggu itu ditutup pukul 14.55. Sebelum sidang ditutup Komite Nasional Indonesia Pusat mengeluarkan maklumat yang isinya seluruh warga masyarakat tetap menjalankan pekerjaan masing-masing dan menjaga ketentraman umum.

Sore harinya, atas undangan golongan muda, Bung Karno dan Bung Hatta datang dalam pertemuan di Prapatan 10 yang dipimpin Adam Malik dan Kasman Singodimedjo. Mereka menyatakan telah membentuk lahirnya tentara Republik Indonesia yang berasal dari bekas Peta dan Heiho. Malam harinya, Bung Karno dan Bung Hatta bersama sejumlah anggota PPKI, membahas personalia KNIP. Disepakati anggota KNIP 60 orang dan rapat pertama direncanakan 29 Agustus. Pada malam itu juga diputuskan rapat PPKI tanggal 22 Agustus, kelak pada hari itu nama PPKI berubah menjadi Panitia Kemerdekaan dengain tiga persoalan pokok Komite Nasional, Partai Nasional, dan Badan Keamanan Rakyat.

Tanggal 29 Agustus di Gedung Komedi merupakan untuk pertama kalinya Bung Karno dan Bung Hatta dihadapkan pada sekitar 200 wakil rakyat yang akan memilih keanggotaan KNIP. Malam hari, terpilih pimpinan KNIP terdiri dari Kasman Singodimedjo, Sutardjo Karthadikusumo, Johannes Latuharhary dan Adam Malik, masing-masing sebagai Ketua, Ketua I, II, dan III.

Hari-hari setelah 29 Agustus adalah hari-hari pergolakan, apakah terjadi karena kurang tanggapnya KNI Daerah sehingga memunculkan PeristiwaTiga Daerah—Pekalongan, Brebes dan Tegal—konflik pemuda dan tentara Jepang yang meletuskan Perang Semarang, atau Bandung Lautan Api, bulan Oktober-November Perang Surabaya, dan berbagai peristiwa lain. Semua itu dalam upaya untuk menegakkan Republik.


Ibu Kota Setelah Proklamasi
Pasukan Pengawal Pribadi Presiden RI, Bung Karno dan keluarganya, serta pengawal Wakil Presiden RI, Bung Hatta dan keluarganya, terdiri dari bekas kesatuan polisi zaman Jepang yang sebelumnya bernama Tokumukosaku Tai yaitu Kesatuan Polisi Istimewa yang bertugas untuk seluruh Jawa. Di tiap keresidenan ada kesatuan. Kesatuan di Jakarta bernama Kesatuan Polisi Macan di bawah pimpinan Gatot Suwiryo. Pasukan Tokumukosaku Tai, berasrama di Jalan Sunda No. 18 Jakarta. Setelah proklamasi mereka segera bertugas manjaga keamanan pimpinan negara dan keluarganya masing-masing. Tidak hanya Bung Karno dan Bung Hatta, akan tetapi juga tokoh-tokoh seperti Bung Sjahrir dan para Gubernur. Dengan demikian pos-pos penjagaan tersebar luas, berhubung tersebarnya tempat tinggal para pemimpin itu. Ada di jalan Surabaya, Jalan Diponegoro, Stasiun Pegangsaan Timur, Jalan Bonang, Matraman Jembatan, Jalan Tambak hingga Jalan Jawa. Pos-pos itu merupakan lingkaran sekitar daerah pemimpin-pemimpin Indonesia bertempat tinggal saat itu.

Jakarta diliputi suasana tegang setelah proklamasi, menghadapi Jepang yang telah menyerah kepada sekutu. Tentara Jepang sebagai tentara kalah, ditugaskan menjaga keamanan sampai saatnya tentara sekutu mendarat, sedangkan RI sudah berdiri. Pada tang¬gal 18 September 1945 terdengar kabar, bahwa polisi tentara Jepang—Kempetai—meminta bantuan kepada Tokumukosaku Tai untuk penjagaan di Lapangan Ikada pada esok harinya, 19 September 1945 pagi. Tetapi pagi-pagi sekali para Tokumukosaku Tai yang semuanya pemuda Indonesia itu meninggalkan asrama. Mereka sudah tidak mau tunduk dan tidak berada di bawah perintah Jepang lagi.

Pada tanggal 19 September 1945 itu akan ada rapat raksasa pertama, mendukung proklamasi, di mana atas desakan rakyat dan pemuda Bung Karno dan Bung Hatta akan tampil di hadapan massa sebagai Presiden dan Wakil Presiden, yang baru sebulan lahir. Tanggal 19 September 1945 itu, tentara Jepang ternyata telah menduduki pertigaan Merdeka Timur dan Merdeka Selatan. Selain itu di sekitar lapangan, tentara Jepang dengan senjata lengkap dalam keadaan siap tepur telah mengambil posisi. Di Lapangan Besar puluhan ribu rakyat sudah berjubel menanti kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta membawa panji-panji dan berbagai rupa senjata. Di sekeliling lapangan juga sudah siap ribuan pe¬muda mengelilingi tentara Jepang dengan semangat menyala-nyala. Pekik merdeka dan pernyataan kebulatan tekat memenuhi udara.


Tentara Jepang berusaha membujuk agar rakyat meninggalkan lapangan, tetapi tidak dihiraukan. Rakyat tidak sudi meninggalkan tempat sebelum melihat wajah Bung Karno dan Bung Hatta yang dicintai sebagai bukti dan perlambang bangsa yang kini sudah merdeka. Akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta muncul, dikawal Tokumukosaku Tai, Satuan Polisi Macan. Mereka disambut rakyat dengan gegap gempita. Bung Karno dengan langkah tegap dan yakin melangkah ke mimbar yang telah disediakan. Pidato Bung Karno singkat, antara lain ia berkata :

Saudara-saudara, kita akan tetap mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan ki'ta. Kita tidak mundur satu patah katapun.
Saya mengetahui, bahwa saudara-saudara berkumpul di sini untuk melihat presiden saudara-saudara dan untuk mendengar perintahnya. Nah, apabila saudara-saudara masih setia dan percaya kepada Presidenmu, ikutilah perintahnya yang pertama. Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang ini juga dengan tertib dan teratur, dan tunggulah berita dari para pemimpin di tempatmu masing-masing. Sekarang. . .bubarlah.. . pulanglah saudara-saudara dengan tenang.

Rapat raksasa bubar dengan tertib, Jepang tak dapat menghalanginya. Tidak selang beberapa lama kemudian tentara sekutu, Inggris, mendarat. Di dalamnya ikut pasukan Belanda. Sementara tentara Jepang mulai dipulangkan ke negerinya. RI berhadapan dengan tentara Inggris dan Belanda, Inggris melakukan diplomasi terhadap RI, yang dengan demikian diakui secara de facto. Pasukan Inggris antara lain menempati Hotel Royal, di Jalan Djuanda, sedangkan Belanda menempati gedung di sebelah Gedung Departemen Dalam Negeri. Suasana dalam kota makin hangat, sering terjadi insiden tembak menembak antara pemuda dan sekutu, Inggris atau Belanda. Pemerintah RI berjalan terus secara de facto walaupun belum mendapat pengakuan resmi.

Tidak lama kemudian semakin banyak tentara Belanda yang mendarat di Jakarta mengadakan razia. Keadaan di Jakarta makin tidak aman, keamanan pribadi Bung Karno dan Bung Hatta semakin terancam oleh tindakan-tindakan liar pasukan Belanda yang mendompleng pasukan sekutu. Jika hari sudah petang, Bung Karno dan keluarga meninggalkan kediamannya menuju ke lain tempat yang dirahasiakan. Bahkan untuk mengelabuhi pihak musuh, selama satu bulan Ibu Negara Fatmawati terpaksa menyamar sebagai tukang pecel dan Presiden Soekarno menyamar sebagai tukang sayur dengan gaya berjalan pincang.

Pengawalan dilakukan dengan berpakaian preman. Pasukan pengawal Bung Karno oleh Sekutu diakui berseragam dan bersenjata. Inggris menghormati hal itu sesuai diplomasinya waktu itu. Dalam pasukan Inggris terdapat pasukan India beragama Islam. Banyak di antara mereka bersimpati terhadap RI. Pernah mereka memberikan informasi bahwa Pasukan Belanda bermaksud mendatangi tempat tinggal Bung Karno. Mendapat informasi ini Bung Karno pun bersiap. Memperhitungkan segala sesuatu dan situasi yang semakin membahayakan ini, kemudian diputuskan oleh pemerintah untuk memindahkan kedudukan Bung Karno dan Bung Hatta ke Yogyakarta. Ini dilakukan secara rahasia dengan menggunakan Kereta Api Luar Biasa (KLB).

Tanggal 3 Januari 1946, rombongan Bung Karno dan Bung Hatta di pagi buta itu sudah siap di Pegangsaan Timur 56. Jumlahnya kecil dibatasi, dapat dikatakan tak membawa barang apapun, kecuali pengawal membawa senjata. Ikut dua buah mobil, di Yogyakarta sulit mendapatkan mobil saat itu. Satu Buick bercat hitam dan satu de Sotto sudah dimuat terlebih dahulu dalam gerbong KLB. KLB itu sudah beberapa kali sejak pagi buta melakukan langsir, tipuan di belakang rumah kediaman Bung Karno, dari Stasiun I Manggarai yang dekat di sana dan relnya persis berbatasan dengan pekarangan belakang rumah Bung Karno. Pemuda-pemuda bersenjata yang berjaga di seberang rel seperti biasa tidak tahu apa-apa. Ketika pengawalan muncul mereka pun bertanya keadaan. Mendapat jawaban "Aman" mereka pun puas.

Di atas KLB, telah ada lima anggota pengawal. Kemudian setelah semua rombongan ; berada di atas kereta, lima anggota lainnya naik. Dalam KLB tak ada satupun lampu dinyalakan. Kemudian kereta api perlahan-lahan bergerak. Setibanya di Stasiun Manggarai penumpang berdebar-debar. Di sana terdapat tentara Inggris dan Belanda. Tetapi mereka rupanya tidak curiga dan tidak memperhatikan KLB yang gelap dan digandeng paling ujung kereta api sebagai gerbong kosong itu.
Di Stasiun Jatinegara kereta api berhenti lagi. Di sanap pun banyak tentara Belanda, yang orang Indonesia. Tetapi mereka pun tidak memperhatikan gerbong gelap yang menjadi buntut kereta itu. Di Jatinegara kereta api hanya berhenti sebentar, bergerak lambat membuat hati para penumpangnya lebih tegang lagi. Berjalan lambat sengaja dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tetapi lama kelamaan KLB makin cepat juga jalannya, dan akhirnya sampailah di Klender di mana mereka disambut dengan pekik; "Merdeka!". Mereka pun berteriak "Merdeka" sepuas hati dan berulang-ulang menghirup udara merdeka seratus persen. Klender adalah pos RI terdepan di sebelah barat Jakarta. Jalan ke Yogya terbuka dan aman. Mulailah babakan baru dalam sejarah revolusi dalam mengawal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.







BUKIT TINGGI DALAM KEMELUT PROKLAMASI


Sampainya Proklamasi di Bukittinggi
Pada tahun 1945 sulit melakukan kontak hubungan antara Bukittinggi dengan Jakarta. Selama pendudukan militer Jepang, Sumatera dan Jawa tidaklah di bawah suatu administrasi yang sama. Sumatera diperintah oleh Tentara ke 25 Jepang, sedangkan Jawa oleh Tentara ke 16. Sejak bulan April 1943 pusat pemerintah mi¬liter Jepang dari Tentara ke 25 itu dipindahkan dari Singapura ke Bukittinggi. Jadi Gunseikanbu yang mengatur seluruh Sumatera, terdapat di Bukittinggi.

Hubungan antara pemerintahan Sumatera dan pemerintahan Jawa tentu tidak rapat seperti pada waktu pemerintahan Hindia Belanda. Surat-surat antara penduduk Jakarta dengan penduduk Bukittinggi sekali-kali berlangsung dan disensor. Hubungan kapal penumpang antara Tanjung Priok dan Teluk Bayur sudah tidak ada lagi. Dari Jakarta ke Bukittinggi orang hanya bisa dengan jalan naik perahu atau kapal kayu dari Pasar Ikan atau Merak ke Lampung dan seterusnya ja¬lan darat. Ini memakan waktu berhari-hari dan memerlukan surat jalan atau bagi yang nekat dengan menyelundup.

Meskipun dipisahkan Sumatera dengan Jawa oleh pemerintahan pendudukan militer Jepang, tetapi pada waktu itu masih saja pedagang-pedagang Sumatera Barat berhasil membawa gambir, ke Jawa dengan pengalaman-pengalaman berupa petualangan. Sedikit banyaknya orang-orang di Bukittinggi mendengar juga cerita tentang Jakarta.

Telekomunikasi pada waktu itu digunakan untuk kepentingan perang. Siaran radio hanya bersifat lokal. Pesawat penerima disegel. Orang Bukittinggi hanya dapat mendengarkan siaran radio Bukittinggi, Sumatora Tyuo Hozokyoku. Ada orang-orang yang berani menangkap siaran dari luar Bukittinggi melalui pesawat penerima yang tidak disegel, secara sembunyi-sembunyi. Mereka itu biasanya pekerja kan¬tor, di mana tersedia pesawat-pesawat yang tidak disegel atau orang-orang yang berani menyimpan radio gelap.

Peranan Pemuda PTT Sumatera
Menjelang Proklamasi kemerdekaan, Jawatan PTT (Pos Telepon dan Telegrap) pemerintah militer Jepang di Bukittinggi terdiri antara lain atas Kantor Pusat PTT atau Tsushinsokyoku sebagai salah satu departemen dari Gunseinkanbu, Kantor Pos Bukittinggi dan Kantor Telegrap Bukittinggi. Kantor Telegrap ini meliputi Bagian Tsushin yang me- nyelenggarakan perhubungan dengan tempat-tempat di Pulau Sumatera dan Bagian Kokusai Denshin Denwa, yang menyelenggarakan perhubungan "overseas" yakni dengan Tokyo Syonanto (Singapura) dan Bandung.

Di Bandung ketika itu terdapat Kantor Pusat PTT untuk Pulau Jawa. Melalui Kantor Telegrap Bukittinggi inilah hanya ada kemungkinan untuk berhubungan telegrap dengan tempat-tempat di luar Pulau Sumatera. Di samping yang dilakukan Kantor Telegrap itu ada lagi Pemancar Kantor Berita Domei, yang mengirimkan berita-berita radionya secara sepihak (pers-uitzending, tidak berhubungan langsung). Pemancarnya salah satu peman¬car PTT dengan jadwal tersebut.

Pesawat-pesawat penerima radio yang dipergunakan untuk kantor telegrap Bukittinggi ini dari jenis yang sangat sensitif dan gelombangnya pun tidak terbatas sama sekali, sehingga dapat menangkap pemancar-pemancar baik dalam negeri maupun luar negeri dengan jelas. Pemuda-pemuda Indonesia yang menjadi telegrafis Kantor Telegrap Bukittinggi adalah lulusan pendidikan Jepang di Padang. Mereka merupakan tenaga inti dalam perhubungan Radio Telegrap Bukittinggi dan mendapat kepercayaan dari Jepang. Tetapi karena masih muda mereka tidak takut mendengarkan siaran luar negeri, walaupun risikonya berat sekali bila diketahui Jepang.

Pemuda yang tidak yakin kepada kejujuran berita-berita Jepang itu, dengan serius mengikuti secara gelap siaran-siaran radio Australia dan India, yang dengan jelas dapat ditangkap dengan pesawat radio penerima kantor. Pendengaran dilakukan dengan head¬phone, sehingga tidak didengar orang lain selain dari si pendengar. Dan pendengaran dilakukan pada waktu dinas malam antara pukul 21.00-02.00, pada waktu orang Jepang tidak berada di kantor.

Maka dapatlah mereka mengikuti perkembangan Perang Eropa, pendaratan Sekutu di Normandia, jatuhnya Berlin dan sebagainya. Yang paling menarik bagi mereka ialah berita-berita dari radio Australia dan India tentang kemajuan Sekutu di Pasifik. Pendaratan sekutu di Irian, di kepulaun Filipina Selatan. Pendaratan di Kepulauan Leyte, didahului oleh pertempuran laut antara armada Jepang dengan sekutu dengan kekalahan di pihak Jepang, dan pasukan Kamikaze Jepang yang bunuh diri. Yang paling mendebarkan adalah pendaratan di Pantai Iwojima.


Berita-berita itu merupakan topik bagi para operator, walaupun secara sembunyi- sembunyi dibicarakan. Berita mengenai jatuhnya Bom Atom di Hirosima diketahui pada hari itu juga melalui siaran radio luar negeri. Akhirnya berita Jepang menyerah kalah pa¬da tanggal 14 Agustus 1945.

Di luar pertukaran telegram-telegram yang resmi antara Bukittinggi dan Bandung, biasa pula dilakukan berita-berita di bawah tangan atau disebut juga nota. Pada tanggal 16 Agustus 1945 sampailah sebuah berita di bawah tangan dari operator Kantor Telegrap Bandung, yang menyuruh operator-operator Kantor Telegrap Bukittinggi standby besoknya, oleh karena akan ada berita penting. Dan pada tanggal 17 Agustus 1945 sore operator di Bukittinggi menerima nota yang memuat berita atau teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Berita di bawah tangan ini tidak terdaftar secara resmi dalam pencatatan kantor telegrap, jadi tidak resmi. Nota itu diterima langsung dari operator Kantor Telegrap Bandung, dan pemuda-pemuda Kantor Telegrap Bandung, mengatakan supaya berita tersebut disebarluaskan.

Hadir pada waktu menerima teks Proklamasi itu antara lain operator Sidi Aladin, Zainal Abidin, Noer Hasan, Dachlan, Adjas Baheram, Joel Jassin. Mereka pada waktu itu sedang bertugas di kantor. Pemuda-pemuda operator itu tidak tinggal diam. Secara sembunyi-sembunyi mereka perbanyak teks Proklamasi itu dan mereka serahkan antara lain kepada pimpinan kantor orang Indonesia, Achmad Basah, dan keluar kantor kepada Adi Negoro yang pada waktu itu menjabat Sekretaris Aumatora Tyuo Sangi In.

Secara sembunyi-sembunyi karena rakut ketahuan orang Jepang yang masih berkuasa, hari itu juga disampaikan oleh mereka nota-nota yang berisi berita Proklamasi itu kepada stasiun-stasiun lawan di ibu kota-ibu kota keresidenan di Sumatera. Besoknya, 18 Agustus 1945, pemuda-pemuda operator radio Kantor Telegrap Bukittinggi itu menempelkan beberapa lembar teks Proklamasi yang telah mereka perbanyak pada pohon-pohon kayu, antara lain di sepanjang Jalan Birugo.

Belum Umum Diketahui
Tetapi berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu belumlah menjadi pengetahuan umum di Bukittinggi. Sungguh pun ada pula orangyang menerima berita itu dari hasil mo¬nitoring kantor berita Domei, lembaran-lembaran kertas bertuliskan naskah proklamasi baru beredar dari tangan ke tangan tokoh-tokoh masyarakat di Bukittinggi, seperti Adi Negoro, Moh. Sjafei, Chatib Sulaiman, Leon Salim, Zainal Zinoer, Achmad Basah, dan lain- lain. Suasana masih diliputi keraguan dan kesangsian. Apalagi keluar berita dalam surat kabar harian "Padang Nippo" yang terbit di Padang, yang mengatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan itu tidak jadi. Berita ini sejalan dengan usaha pihak Jepang, kantor berita Domei Jakarta, untuk mencabut berita Proklamasi yang dapat disiarkan oleh Adam Malik dan kawan-kawan melalui Domei.

Keraguan akhirnya mulai sirna. Pemuda-pemuda mulai bergerak. Dan pada Jum'at malam 24 Agustus 1945 Kantor Telegrap Bukittinggi menerima kawat dari Jakarta, yang berbunyi "di Djakarta dewasa ini bilamana diseroekan siap koma maka soepir-soepir taksi koma koesir delman dan rakjat djelata serentak menoedjoe ketempat itoe oentoek bertindak mempertahankan kemerdekaan nri jang soedah diproklamirkan ttk sang saka merah poetih berkibar di mana-mana dan setiap orang adalah pedjoeang tanahair ttk pemoeda habis."

Kawat tersebut malam itu juga diantarkan ke rumah Achmad Basah, yang mulai mengambil Pimpinan Pemerintah PTT Sumatera. Besoknya pagi-pagi Achmad Basah sudah ada di kantornya. Kawat yang diterimanya itu disuruhnya diketik kepada sekretarisnya, Asri St Sati. Setelah diketik dua kali rangkap enam, maka Asri yangbaru berumur 20 tahun, dengan spontan mengajukan usul untuk menempelkan beberapa lembar di beberapa tempat di dalam kota. Asri diberi Achmad Basah enam lembar salinan kawat dari Jakarta itu disertai kata-kata, "Hati-hatilah kamu Asri, sebab hal ini dapat membahayakan dirimu sendiri." Asri lalu menyimpan enam helai salinan kawat itu beserta sebotol lem dalam kemejanya dan terus keluar kantor.

Hari baru kira-kira pukul 7.30. Di dekat stasiun di depan kantor telepon Asri me¬nempelkan lembar yang pertama. Karena hari itu akhir pekan, hari Sabtu, di Bukittinggi maka pagi itu sudah banyak orang yang lewat membaca selebaran itu. Lembaran kedua ditempelkan di papan Sendenbu, kantor propaganda Jepang, di depan kantor pusat PTT. Lembaran ketiga ditempelkannya di papan Sendenbu di depan Gedung Balai Kota Syakusho. Yang keempat ditembok besar masuk pasar dekat jam gadang. Lembaran yang kelima akhirnya ditempelkannya dipapan Sendenbu yang ada didepan bioskop Asia, di Pasar atas. Kemudian disitulah Asri melihat orang berjubel membaca selebaran yang ditempelkannya itu.

Dalam sekejap mata, berita Kemerdekaan Republik Indonesia dan bendera Merah Putih yang berkibar dimana-mana di Jakarta menjadi meluas. Lembar yang terakhir kemudian ditempelkannya ditembok pada pintu dekat tangga turun ke surau Gonjong dan Asri pun kembali kekantor. Rakyat umum di Bukit tinggi dan sekitarnya bertambah yakin, bahwa Negera Republik Indonesia memang telah berdiri sebagai negara merdeka.

Rakyat Sumatera di Belakang Proklamasi
Besoknya hari Ahad 26 Agustus 1945 tiba di Bukittinggi dari Jakarta Mr. Teuku Moehammad Hassan dan Dr Amir, dalam perjalanan kembali ke Medan. Kedua pemimpin itu adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersama Mr. Abdoel Abbas. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ini dibentuk di Jakarta zaman Jepang dan telah bersidang sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Hassan, Amir, dan Abbas menjadi utusan Sumatera. Ini merupakan hubungan resmi pertama dengan kekuatan-kekuatan nasional di Jawa waktu itu. Sedangkan di Sumatera pemerintah pendudukan Jepang pada tanggal 25 Juli 1945 telah dibentuk suatu Panitia Peneliti Persiapan Kemerdekaan, yang terdiri dari 24 anggota dengan Moh Sjafei sebagai ketua dan Adinegoro sebagai sekretaris.

Moh Sjafei yang juga salah seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bersidang di Jakarta, di halang-halangi keberangkatannya ke Jakarta oleh pihak Jepang. Sementara itu Teuku Hassan, Dr Amir dan Mr Abbas mula-mula dibawa ke Singapura, dimana mereka melihat Soekarno dan Hatta kembali ke Saigon. Sumatera yang tadinya punya Panitia Penelitian Persiapan Kemerdekaannya sendiri, yang digerakan pemerintahan tentara Jepang unutk mencapai Kemerdekaan tanpa hubungan resmi dengan Jawa, dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan dapatlah bersatu kembali dalam suatu Republik yang bukan hadiah Jepang.

Sekalipun ada berita-berita dari pihak Jepang, yang mengatakan Proklamasi Kemerdekaan tidak jadi Muh Sjafei selaku ketua Tyuo Sangi-In Sumatera pada tanggal 29 Agustus 1945 mengadakan pertemuan dengan beberapa orang pemimpin rakyat dirumah Dr Rasjidin di Padangpanjang. Dalam pertemuan itu diputuskan menyiarkan pemakluman bangsa Indonesia di Sumatera yang menguatkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan Soekarno Hatta tersebut.

Maka disuruh cetaklah selebaran-selebaran yang berbunyi sebagai berikut:


Selebaran itu kemudian dicetak dengan tinta merah diatas kertas putih. Setelah selebaran-selebaran ini disebar dan ditempelkan dimana-mana, maka bertambah yakinlah rakyat akan kemerdekaan dan mulailah gerakan pemindahan kekuasaan secara menyeluruh.

Pemancar YBJ-6 Berhasil Dikuasai
Berita Proklamasi di Bukittinggi juga dilakukan melalui penyiaran berita lewat radio setelah pemancar radio Bukittinggi berhasil dikuasai oleh Bangsa Indonesia dari Tangan Jepang yang sudah kalah. Sejumlah pemuda yang pernah bekerja pada pemancar radio Bukittinggi, antara lain Adnan Burhany, Kasoema dan Busyari Latief adalah mereka yang berjasa ketika menyusun rencana merebut pemancar Radio dari Jepang. Perampasan pemancar di Parit Natung direncanakan bersama-sama dengan rakyat. Rencana ini gagal, karena pemancar dikawal ketat Jepang. Tetapi kemudian dengan usaha diplomasi yang dilakukan Adi Negoro dan Djuhir Muhammad, akhirnya pemancar radio ini dapat dikuasai Indonesia.

Setelah menguasai Pemancar Radio, dan RRI berdiri, untuk operasional Adi Negoro minta pimpinan pusat PTT Sumatera membantu. Nama pusat PTT pun berubah menjadi pusat PTT-RRI (pos Telegrap Telepon Radio Republik Indonesia) Cabang Sumatera. Sekitar lima bulan setelah proklamasi RRI (Radio Republik Indonesia) Bukittinggi berhasil didirikan. Tepatnya 14 Januari 1946 pada saat bangsa Indonesia sedang berjuang menegakkan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan.

Ketika Yogyakarta dan kota-kota lainnya di bom, Belanda membom tinggi dengan sasaran utama stasiun Radio Tarok. Distasiun ini ditempatkan pemancar PPT dan pemancar RRI Bukittinggi. Hanya pemancar YBJ-6 yang selamat dari pemboman. Pesawat yang selamat dibawa ke perkebunan teh Halaban di kaki Gunung Sago, Kabupaten 50 kota. Dari Halaban, pemancar kemudian dipindahkan ke Pauh Tinggi, masih disekitar Gunung Sago. Ditempat ini, pemancar YBJ-6 mengadakan hubungan dengan pemancar-pemancar lainnya yang masih dapat dihubungi, yaitu MBM (Medan Area), KUS (AURI) Tapanuli Selatan, ZZ (AURI)Koto Tinggi (Gubernur Militer) AURI, YHP dan YHS Solo. Namun, setelah Lapangan Terbang Maguwo jatuh ke tangan Belanda, YHS dan THP tidak berfungsi. Sebelumnya kedua pesawat tersebut bertugas berhubungan dan mengirim berita radio ke VWX-2 India. Tugasnya menghubungi VWX-2 India dilaporkan kepada pemancar YBJ-6 di Halaban.

Setelah pemboman, disusul kemudian pendudukan Belanda terhadap Bukittinggi, ketua PDRI MR Syafruddin Prawiranegara dan Gubernur Militer Sumatera Tengah, Tengku Muhammad Hasan mempergunakan stasiun radio mobiele x-mitter AURI untuk berhubungan dengan YBJ-6. Rombongan PDRI memakai call sign ZAY dan Gubernur Militer, memakai call sign ZZ.

Dari beberapa dokumen sejarah, tulisan tentang RRI Bukittinggi dan PTT yang diperoleh Kompas dari RRI Bukittinggi menyebutkan, sebelum Yogyakarta diserbu Belanda, antara Indonesia dan India memiliki jalur hubungan telegrafis. Pemancar PTT Indonesia saat itu bergerilya di daerah Tawangmangu sekitar Gunung Lawu. Setelah Tawangmangu dibom Belanda, hubungan radio telegrafis dengan India terputus. Pimpinan PDRI memerintahkan hubungan telekomunikasi dengan India disambung kembali menggunakan pemancar YBJ-6. Usaha itu berkaitan dengan akan diadakan konferensi Pan Asia Pertama di New Delhi.

Tim YBJ-6 lalu memulai usaha menghubungi pemancar VWX-2 milik Pemerintah India. Tanggal 14 Januari 1949 dipanggil pemancar VWX-2 melalui saluran morse radio yang diketuk dengan tangan secara bergantian dengan siaran broadcast. Intinya, minta VWX-2 memonitor gelombang YBJ-6. Kota broadcast ini harus dijawab VWX-2 tiga hari kemudian, yaitu 17 Januari 1949. isi jawabannya menyatakan, VWX-2 siap untuk dipanggil.

Dengan terbukanya hubungan radio telegrafi tersebut, tembuslah blokade yang dilakukan Belanda. Keberhasilan YBJ-6 ini segera dilaporkan kepada PDRI dan Gubernur Militer di Koto Tinggi. Pada tanggal 19 Januari 1949, telegram pertama dikirim ketua PDRI, Mr Syafruddin Prawiranegara kepada Panitia Konferensi Pan Asia melalui Wakil Indonesia di New Delhi, Dr Soedarsono. Pada hari yang sama ketua PDRI mengirim telegram lain yang ditujukan kepada Mr AA Maramis yang melalui Wakil Indonesia di New Delhi unutk mengangkat Maramis sebagai Menteri Luar Negeri RI.

Penjajah Belanda yang telah menggantikan Jepang tidak tinggal diam. Dengan berbagai cara berusaha mencari tahu letak pemancar YBJ-6 untuk dihancurkan. Menyadari usaha pihak Belanda itu, tim YBJ-6 diintruksikan pindah ke Sabiluru, Sawahlunto Sijunjung. Dari tempat inilah diadakan pertukaran berita antara wakil Presiden Muhammad Hatta yang berada di Aceh dengan ketua PDRI.

Akhirnya Belanda mengetahui pemancar YBJ-6 berada di Sabiluru. YBJ-6 kemudian diselamatkan dalam sebuah gua. Setelah situasi membaik, bulan Juli 1949 pemancar YBJ-6 dibawa ke Sumpur Kudus, situasi politik ketika itu berkembang cepat, kepala Teknik PTT Sumatera Tengah mengintruksikan untuk membawa pemancar YBJ-6 kembali ke Halaban.

Dengan adanya perundingan Belanda memungkinkan PDRI kembali ke Bukittinggi, namun YBJ-6 tetap dibiarkan berada di Halaban dan terus-menerus berhubungan dengan Yogyakarta. Belum dipindahkannya YBJ-6 ke Bukittinggi unutk menghindari kemungkinan tipu muslihat Belanda dalam perundingan. Sedangkan sebagian petugas YBJ-6 berangkat lebih dulu memasuki Bukittinggi untuk mengambil alih stasiun radio yang digunakan Belanda mempersiapkan kembalinya PTT RRI. Tanggal 27 Desember 1949, pemancar YBJ-6 di bawa ke Bukittinggi melalui Batang Tabrik dan Payakumbuh. Pemancar ini ditempatkan di stasiun radio Atas Ngarai. Pada bulan Januari 1950 pemancar YBJ-6 kembali mengudara.
Baca Selengkapnya...